Keberadaan Penetapan Cagar Budaya Diperuntukkan bagi Kesejahteraan Masyarakat Sekitar

1 November 2023, 22:22 WIB
Cagar budaya rumah pengasingan Ir Soekarno di Ende, Nusa Tenggara Timur. /Kemdikbud.go.id

PORTAL PEKALONGAN - Ada sebuah sudut pandang baru dalam menetapkan dan mengelola Cagar Budaya. Pengelolaan dan pemanfaatan Cagar Budaya harus lebih melibatkan masyarakat untuk kesejahteraan. Masyarakat sekitar harus dilibatkan dalam tiap proses sampai terwujud dan pengelolaannya. 

Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) sebagai pihak dari pemerintah di bawah Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) harus mengikutsertakan dan punya cara komunikasi baik kepada masyarakat. Pernyataan ini diungkapkan oleh Asesor Nasional Uji Kompetensi Calon TACB, Wiwin Djuita Sudjana Ramelan. Wiwin berbicara di hadapan ratusan peserta yang ikut dalam acara Pembekalan Sertifikasi TACB. 

Baca Juga: Polisi Selidiki Kasus Kematian Bocah di Semarang yang Diduga Meninggal Tak Wajar

Para calon TACB bersertifikat ini datang dari berbagai daerah di Indonesia. Pada acara yang berlangsung bpada 1 November 2023 di Gedung E Kemendikbudristek, Jakarta ini mendorong peserta agar lebih melibatkan masyarakat. 

"Paradigma lama perlindungan terhadap cagar budaya memakai paradigma zaman kolonial. Makanya dahulu, jika ada temuan cagar budaya, akan disita dan diamankan negara di tempat yang dirasa aman ketika itu. Setelah UU nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, paradigma itu berubah, harus lebih melibatkan masyarakat, agar cagar budaya yang ada di tengah masyarakat justru menjadi pusat hadirnya kesejahteraan," jelas Wiwin.

Tafsir sejarah yang berada di masyarakat, terkadang berbeda dengan penafsiran secara akademis. Masyarakat tidak bisa dipaksakan untuk mengikuti tafsir akademisi. 

Baca Juga: Kasus Polisi Konsumsi Sabu Bareng Wanita di Hotel, Akhirnya Dipecat dan Divonis 1,5 Tahun Penjara

Wiwin yang adalah mantan dosen arkeologi Universitas Indonesia menyarankan tafsir yang kadang keliru secara akademis, harus dilawan dengan penjelasan ilmiah yang sama masifnya di dunia maya oleh para akademisi dan TACB.

Hal itu sejalan dengan pemikiran Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Komisariat Banjarnegara, Heni Purwono yang mengikuti kegiatan tersebut. Menurutnya para akademisi, ilmuwan yang ada dalam TACB jangan menjadi menara gading yang keilmuannya tidak terjangkau oleh masyarakat awam. 

"Saya rasa TACB juga harus punya kompetensi tambahan selain inklusif dengan masyarakat juga harus komunikatif. (TACB harus bisa) memanfaatkan media massa dalam mendiseminasikan hasil kajian tentang cagar budaya. Hal ini agar masyarakat tercerahkan dan tahu prosesnya, tidak ujug-ujug sesuatu ditetapkan sebagai cagar budaya tanpa masyarakat tahu narasinya," jelas Heni.

Baca Juga: Inilah Karomah Sunan Gresik: Bisa Menurunkan Hujan saat Musim Kemarau Berkepanjangan

Hal senada diungkapkan Yudi Brahma peserta dari Kabupaten Belitung Timur. Ia mengungkapkan, cagar budaya yang tidak berada di tempat aslinya merugikan daerah asal cagar budaya tersebut.

"Misalnya yupa dan juga mahkota raja Kutai Kartanegara, masyarakat tahu kalau yupa yang ada di sana palsu. Yang asli ada di Museum Nasional. Hal seperti itu tentu sangat merugikan daerah karena daya tarik wisata cagar budaya di tempat aslinya menjadi kurang. Cagar budaya tiruannya tidak membawa kemanfaatan yang banyak" ujar Yudi.

Acara Pembekalan Sertifikasi TACB ini akan menghasilkan tenaga-tenaga ahli yang bisa menilai sebuah bangunan akan masuk Cagar Budaya yang harus dilindungi atau tidak. Tim ini akan bekerja baik di tingkat kabupaten maupun provinsi. 

Tugas TACB cukup penting dalam memberikan rekomendasi penetapan, pemeringkatan dan penghapusan cagar budaya. Serta jika setiap ada temuan benda-benda yang dicurigai sebagai cagar budaya bisa segera dikaji dan diusulkan untuk ditetapkan apakah masuk dalam kriteria cagar budaya. ***

 

 

Editor: Ali A

Sumber: Narasumber

Tags

Terkini

Terpopuler