Floating Mass dan Tanggungan Biaya Politik, Hascaryo Pramudibyanto: Keriuhan yang Tak Perlu

20 Desember 2022, 17:24 WIB
Potret Piala Dunia 2022 yang dimenangkan skuad Lionel Messi dan timnya./Instagram/@fifaworldcup /

 

PORTAL PEKALONGAN - Euforia kemenangan Argentina di Piala Dunia 2022, membawa dampak tak bagus di negeri kita.

"Negara yang seharusnya ikut gembira sebatas senyum dan merasa gembira, ternyata diwujudkan dalam keriuhan yang tak perlu," kata Hascaryo Pramudibyanto.

Berikut ini adalah buah pikiran dosen Ilmu Komunikasi Universitas Terbuka itu.

Negara yang seharusnya ikut gembira sebatas senyum dan merasa gembira, tenyata diwujudkan dalam keriuhan yang tak perlu.

Bahkan sampai merenggut korban jiwa di Manado, Sulawesi Utara.

Rasa jengkel warga yang melakukan tindak kriminal didasari oleh kekesalannya tatkala menyaksikan korban lantaran ugal-ugalan di jalan raya.

Beginilah kita, begitulah saudara kita.

Baca Juga: Denpasar Tidak Rayakan Tahun Baru 2023 dengan Pesta Kembang Api, Pagelaran Seni Gantinya

Sesuatu yang tak perlu ditunjukkan dalam euforia berlebihan, malah dilakukan melebihi yang wajib bergembira.

Seakan mewakili dan menunjukkan solidaritas, ternyata justru berujung raibnya nyawa.

Ya benar, selalu nyawa yang jadi taruhan kegembiraan dan kekacauan di negeri ini.

Nonton bola, tim yang didukung kalah, taruhannya nyawa. Kalau kalah, harusnya ya sudahlah kalah.

Suporter justru naik pitam tak terkendali, menyalahkan aset stadion dan sarana umum.

Apapun yang ada di depannya, dilibas tanpa ampun.

Konteks ini bukan tentang Kanjuruhan, melainkan kebiasaan penonton kita yang suka akting dan akrobat, merasa sok jago.

Patut diyakini bahwa mereka berani melakukan hal demikian karena sifat massa.

Lebih menukik lagi, merekalah contoh floating mass. Massa yang mengambang.

Sebuah komunitas heterogen yang hanya berani melakukan tindakan anarkis karena dilakukan secara bersama.

Coba saja jika mereka sendirian dan tiba-tiba merusak fasilitas umum di jalan raya. Pastilah ia akan ditangani oleh yang berwenang.

Bagi warga yang menyukai ketenangan, tindakan anarkis semacam ini bisa dikategorikan sebagai sebuah teror.

Jangan panik dulu jika membaca konteks teror. Pahami dan tenangkan dulu, bahwa konteks teror dalam paparan ini bukan sesuatu yang bernuansa teroris dengan bekal bom atau senjata lain.

Teror bisa dimaknai sebagai upaya melakukan sebuah tindakan yang menakutkan, mengerikan, atau kekejaman yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok tertentu.

Tindak perusakan sarana umum, pun merupakan sebuah kejadian menakutkan.

Menakutkan bagi seseorang yang tak terbiasa melihat kejadian yang memiris perasaan atau menjadikan dirinya berpikir pendek, yang mungkin saja ia tak akan berumur panjang lagi.

Andaikata Anda, termasuk dalam kategori floating mass yang terbiasa melakukan tindakan menakutkan atau mengerikan, silakan untuk meletakkan isi tulisan ini pada hati terdalam.

Baca Juga: Honda W-RV Resmi Rilis di Indonesia, Tembus 2.580 Unit, Libas Toyota Raize dan Daihatsu Rocky!

Mungkin saja Anda memperkuat jatidiri dengan raut wajah sangar menakutkan, dengan tato memenuhi sekujur tubuh, atau menangkringkan senjata tajam di ruang tamu.

Semua itu adalah simbol sebagai identitas atau penanda bahwa Anda adalah jagoan.

Kalau tidak untuk julukan jagoan, lantas apa maksud Anda menunjukkan simbol-simbol itu di rumah atau tubuh?

Tak perlu memungkiri juga bahwa Anda masih membutuhkan pengakuan dari khalayak bahwa Andalah jagoan di wilayah ini, patut disegani, dan mungkin inilah cara satu-satunya untuk mendapatkan penghasilan.

Semua ini mungkin, dan jauh dari sangkaan.

Hanya saja, inilah atribut yng bisa dikenali pada diri seseorang, ketika ia ingin diakui sebagai jawara.

Sebentar lagi lonceng demokrasi akan ditabuh.

Ini juga jadi momentum bagi siapa pun pendukung bookingan yang ingin meramaikan kampanye.

Sepertinya tak perlu menampik adanya ulasan yang mengatakan bahwa yang benar-benar murni sebagai pendukung partai atau calon anggota dewan dengan yang bookingan, jumlahnya hampir sama.

Enam orang tersangka insiden di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, pada 1 Oktober 2022 lalu telah ditangkap. /ANTARA FOTO/Ari Bowo Sucipto.

Atau mungkin malah lebih banyak yang bookingan.

Di momen ini pulalah kita bisa menyaksikan atraksi dan akrobat yang bookingan.

Mereka biasanya akan lebih banyak tingkah daripada yang lain.

Atribut yang dikenakan biasanya juga tidak bisa selaras dengan nafas partai atau personal yang didukungnya.

Baca Juga: Tembus 2.300 Unit, Suzuki S-Presso Resmi Rilis di Tahun 2022, Layak Dibeli? Cek Spesifikasinya!

Jika calon anggota Dewan berangkat dari kalangan agamawan yang santun dan disegani karena kharismanya, maka yang turun ke jalan malah sebaliknya.

Anarkis dan menakutkan. Sang calon anggota Dewan agak menafikan hal ini, sebab yang ia butuhkan adalah jumlah dan keramaian yang tersaji.

Bahkan, ia pun kecil kemungkinan bisa mengetahui bahwa ya ia booking bukanlah person dengan nafas kharismanya.

Jika mau merunut kesalahan, maka yang patut disalahkan adalah pengordernya, dan biasanya dari lingkungan terdekat si calon.

Pengorder akan berdalih kesulitan mencari orang bookingan kampanye karena alasan ini-itu.

Mereka kana mencari jalan pintas nan mudah, asalkan bayarannya cocok.

Butuh seratus bookingan, tinggal menyiapkan dana, misalnya satu bookingan seratus ribuan untuk dalih transport.

Belum lagi harus menyiapkan snack, makan berat, dan air mineral per orang sekitar lima puluh ribuan.

Cukupkah itu? Ternyata belum. Masih ada kaos dan pernik lain yang harus disiapkan.

Bahkan untuk biaya sewa sepeda motor dan mobil antik pun, dimasukkan jadi anggaran kampanye.

Inilah tugas pengorder atau agen kampanye dalam menyiapkan biaya politik tinggi.

Mereka akan secara vulgar menyampaikan biaya yang harus disiapkan partai atau calon anggota dewan, jika ingin namanya dikenal publik dan disebut sebagai jawara cuan yang layak jadi anggota Dewan.

Belum jadi anggota Dewan, tapi sudah kaya raya.

Baca Juga: Keluarga Ahli Maksiat, Begini Cara Menasihatinya Menurut Ustadz Abdul Somad

Predikat ini yang diharapkan muncul dalam opini publik.

Efeknya, ia layak dipilih dan kembali peduli pada pemilihnya, jika tidak lupa.

Padahal, sang calon juga tak mungkin mengelola dan menjamin ketertiban mereka jika – secara tidak sadar – membawa senjata tajam saat kampanye dan menebar teror.

Jika ini terjadi, maka yang sudah dikeluarkan akan sia-sia lantaran publik akan menilai bahwa calon anggota Dewan yang ia kenal sebagai sosok dermawan, agamawan, dan cendekiawan ternyata pendukungnya tukang teror.

Yang dibawa senjata dan berucap anarkis nan jorok.

Kira-kira siapa yang rugi, Anda bisa menghitungnya sendiri.

Dan mereka pulalah yang masuk kategori floating mass.

Sekumpulan massa yang tak bisa dikendalikan, bertindak semaunya, dan selalu tak menyadari tanggung jawabnya secara individual.

Baca Juga: 3 Orang yang Ditangisi Nabi Muhammad Saw Ketika Meninggal Dunia, Simak Penjelasan Ustadz Abdul Somad

Secara kelompok saja mereka akan sulit mengakui tindakannya, apalagi secara individual.

Sangat langka jika ada yang personal mengakui kesalahan bahwa ia telah bertindak teror.

Dan jika yang melakukan tindak teror itu disebut sebagai oknum, tak dikenal, dan penyusup maka inilah bentuk ketidaktanggungjawaban partai atau calon anggota Dewan ketika didesak dengan pernyataan yang mewakili.

Han, Tang, dan Wang dalam kajian berjudul The Communication Characteristics and Intervention of Terrorism-related Public Opinion An Analysis of Manchester Bombing Terrorist Attack mengatakan bahwa konstruk strategi intervensi intelijen kontraterorisme sejalan harusnya dengan ruang lingkup keamanan nasional, yang juga merupakan perwujudan dari sistem tata kelola keamanan nasional dan kemampuan kontraterorisme.

Apakah negeri kita sudah melakukan hal ini, tentu jawabannya sudah.

Dapat dilihat lagi betapa upaya BNPT dalam menelusuri organ teroris di Indonesia.

Baca Juga: Menangisi Keluarga yang Meninggal Dunia, Ustadz Abdul Somad: Dulu Jadi Perbedaan Sosial

Kaitan teori ketiga ilmuwan tersebut dengan kajian ini adalah konstruk teror yang dilakukan oleh siapa pun yang berlindung dalam kedok kampanye, penonton, maupun kegiatan lainnya masih dilingkupi oleh sikap anarkis yang tidak bisa diberangus begitu saja.***

Editor: Ali A

Sumber: Hascaryo Pramudibyanto

Tags

Terkini

Terpopuler