NU di Tengah “Pertarungan” Politik 2024 dan Sikap PBNU

- 12 Oktober 2023, 01:23 WIB
Prof Ahmad Rofiq di Belanda
Prof Ahmad Rofiq di Belanda /Ali A/

Oleh Ahmad Rofiq*)

Sikap Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) yang melarang warganya membawa organisasi NU berpolitik secara praktis, sementara warga NU jumlahnya cukup besar, maka jika dilepas tanpa kendali dari pimpinan PBNU maka berpotensi melahirkan suara warga NU akan menjadi rebutan, dan bukan tidak mungkin menjadi pemicu lahirnya “konflik” internal yang bisa menguras energi.

PORTALPEKALONGAN.COM - Pimilihan umum serentak akan digelar 14 Februari 2024. Pemilu serentak ini adalah pertama dalam sejarah RI dan menyedot anggaran hingga Rp76 triliun.

Rakyat Indonesia yang memiliki hak pilih, akan memilih Presiden-Wakil Presiden, Anggota DPR-RI, DPD-RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten dan Kota, dan juga kepala daerah (pilgub, pilbub, pilwalkot). 

Isu yang terus mewarnai ramainya perhelatan demokrasi tersebut, adalah pada bacapres dan bacawapres.

Bacapres sudah mengharu-biru jagad politik Indonesia.

Ganjar Pranowo yang diusung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).

Prabowo Subianto diusung oleh koalisi partai Gerindra, Golongan Karya, Partai Amanat Nasional (PAN), dan belakangan Partai Demokrat.

Anis Rasyid Baswedan-Muhaimin Iskandar (AMIN) yang diusung oleh Partai Nasional Demokrat (Nasdem), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).  

Baca Juga: Dadang Hardiwan: One Touch Statistics via Android Apps on Google Play for Update Data BPS Jateng

Dua Bacapres pertama hingga tulisan ini dibuat, belum mendeklarasikan bacawapresnya. Karena masih tarik ulur, dengan masing-masing pertimbangan dan alasannya.

Namun tampaknya, yang menjadi pertimbangan menonjol, adalah bahwa bacapres masing-masing besar kemungkinan mencari sosok bacawapres dari kalangan NU (Nahdlatul Ulama). Ini karena sosok pasangan AMIN diperhitungkan berpotensi untuk mendulang suara warga NU terutama di Jawa Timur.

Tak ayal, nama-nama seperti Khofifah Indar Parawansa, Mahfud MD, Yaqut Cholil Qoumas, dan Erick Thohir -- yang dinilai oleh sebagian  warga NU “naturalisasi” pun selalu mewarnai poling-poling menyertai hiruk-pikuk bacawapres.

Sikap Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) yang melarang warganya membawa organisasi NU berpolitik secara praktis, sementara warga NU jumlahnya cukup besar, maka jika dilepas tanpa kendali dari pimpinan PBNU maka berpotensi melahirkan suara warga NU akan menjadi rebutan, dan bukan tidak mungkin menjadi pemicu lahirnya “konflik” internal yang bisa menguras energi.

Kaukus NU

NU sebagai ormas Islam besar – atau terbesar dari jumlah warga -- dengan jumlah anggota hingga kurang lebih 150 juta jiwa, NU selalu menjadi incaran partai-partai politik. Namun, menurut kompas.id, bukan perkara mudah memikat kaum Nahdliyin karena preferensi beragam dalam memilih dan kembalinya ke Khittah 1926 (12/2/2023).

Baca Juga: Lima Cabang Olahraga Tambahan Diusulkan Masuk Olimpiade LA 2028, Apa Saja Itu?

Karena itu, akan lebih keren, seandainya pimpinan PBNU mengundang para tokoh yang nama-namanya cukup menonjol di media sosial atau media cetak mainstream, termasuk para bacaleg DPR, apapun partai politiknya, bacaleg DPD, bacaleg DPRD Provinsi, Kabupaten dan Kota, bacakada, diundang dalam silaturrahim nasional.

Melalui forum silaturrahim nasional, bisa dibentuk misalnya Kaukus NU dalam berbagai parpol dan tingkatan, agar semua tokoh politik dan PBNU dengan semua elemen dan banomnya, bisa satu memiliki visi dan misi dalam mengawal program PBNU melalui berbagai wadah dan parpol, menjaga NKRI yang sangat kaya sumber daya alam, menjadi bangsa yang maju, berdaulat secara penuh, dan pada saatnya menjadi leader bagi bangsa-bangsa lain di dunia.

Banyak isu penting dan strategis yang menjadi program prioritas PBNU yang bisa diamanatkan oleh warga NU yang berada di jalur politik, agar realisasi program tersebut bisa lebih mudah dan efektif.  Harus jujur diakui, namun disadari atau tidak, soliditas warga NU di berbagai lini dan wadah organisasi, relative rendah. Bahkan tidak jarang tampak di media sosial, konflik terbuka antara tokoh yang dielitkan oleh pendukungnya dan pimpinan parpol yang secara historis memang tidak bisa lepas dari kesan didukung oleh warga NU.

Baca Juga: Kiai Darodji Bagikan Tips kepada MUI Kota Jambi, Mengapa Sepanjang Tahun MUI Jateng Padat Kegiatan

Mudah-mudahan saja yang “tampak seperti konflik” itu tidak lebih dari “adegan drama” atau “sinetron” yang sesungguhnya di antara para elit NU itu ternyata aslinya ngopi dan guyon bareng yang penuh dengan semangat kekeluargaan. Boleh jadi ini style santri yang meminjam kaidah “man lam yasyumma raihata l-khilaf lam yasyumma raihata l-fiqh” artinya “barangsiapa tidak mampu mencium aroma perbedaan pendapat, maka berarti ia tidak mampu mencium aroma fiqh”. Jadi, beda pendapat adalah hal yang sangat lumrah, wong beda pendapatan saja, tidak ada masalah alias ma fi musykilah.  

*)Prof. Dr. H. Ahmad Rofiq, MA., Sekretaris PWNU Jawa Tengah (1998-2000), Ketua PW LP Ma’arif NU Jawa Tengah (2000-2003), Wakil Ketua Harian Badan Kesejahteraan Masjid (BKM) Pusat, Ketua Bidang Pendidikan DP Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT) Semarang, Ketua II Yayasan Pusat Kajian dan Pengembangan Islam (YPKPI) Masjid Raya Baiturrahman Semarang, Direktur LPH-LPPOM-MUI Jawa Tengah, Ketua Pimpinan Wilayah Dewan Masjid Indonesia (PW-DMI) Jawa Tengah, Guru Besar UIN Walisongo Semarang, Ketua Dewan Pengawas Syariah (DPS) Rumah Sakit Islam-Sultan Agung Semarang, Koordinator Wilayah Indonesia Tengah PP MES, Anggota DPS BPRS Bina Finansia Semarang, dan Ketua DPS BPRS Kedung Arto Semarang.

Editor: Ali A

Sumber: Prof Ahmad Rofiq


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x