Banyumas Punya Ora Ngapak Ora Kepenak, Semarang? Hartono Samidjan: Hallah Pokokmen, Ngarahmu Piye?

6 Desember 2022, 13:55 WIB
Buku Halah Pokokmen: Kupas Tuntas Dialek Semarangan karya Hartono Samidjan /Ali A/

PORTAL PEKALONGAN - Jika Banyumas punya tagline bahasa: Ora Ngapak Ora Kepenak (tidak ngapak, tidak nyaman), kalau Semarang apa ya tagline-nya?

Kata Hartono Samidjan : Halah Pokokmen, Ngarahmu Piye?

Ya, soal bahasa, Indonesialah gudangnya. 

Berdasarkan data Ethnologue, Indonesia menjadi negara dengan bahasa paling banyak kedua di dunia pada 2022. Ada 715 bahasa yang digunakan di Tanah Air hingga saat ini.

Baca Juga: Gus Baha: Inilah Doa agar Diberi Ketabahan Iman

Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Badan Bahasa Kemendikbud) telah memetakan dan memverifikasi 652 bahasa daerah di Indonesia. Jumlah tersebut tidak termasuk dialek dan subdialek.

Dari tahun 1991 sampai 2017 kami telah memetakan dan memverifikasi bahasa-bahasa daerah di Indonesia. Jumlahnya saat ini 652 bahasa daerah, yang tentunya bisa berubah seiring waktu.


Penghitungan jumlah itu diperoleh dari hasil verifikasi dan validasi data di 2.452 daerah pengamatan. Bahasa-bahasa di wilayah Nusa Tenggara Timur, Maluku, Maluku Utara, Papua dan Papua Barat belum semua teridentifikasi.

Sebagaimana kita ketahui bersama, salah satu tugas Badan Bahasa Kemendikbud adalah melindungi dan melestarikan bahasa-bahasa daerah tersebut.

Baca Juga: AI: Brasil Juara Piala Dunia FIFA 2022, Belgia dan Argentina Juara 2 dan 3, Pendukung Inggris Rasah Esmossi

Buku Halah Pokokmen:

Hartono Samidjan adalah pengarang buku bertajuk "Halah Pokokmen: Kupas Tuntas Dialek Semarangan".

Buku itu dilaunching oleh Hartono Samidjan di Rumah Makan Semarang di Kawasan Gajah Mada Semarang pada Sabtu 27 April 2013.

Hartono Samidjan, penulis buku Halah Pokokmen: Kupas Tuntas Dialek Semarangan ini adalah wartawan Suara Merdeka cetak yang sudah sekitar 30 tahun mengabdi sebagai salah satu punggawa di koran terbesar di Jawa Tengah yang memiliki tagline, "Korannya Wong Jawa Tengah".

Suara Merdeka cetak lahir 11 Februari 1950, oleh para pejuang pers yang dipimpin oleh H Hetami dengan misi awal memperdengarkan suara rakyat yang baru saja merdeka.

Dalam menerbitkan Buku Halah Pokokmen: Kupas Tuntas Dialek Semarangan, Hartono Samidjan melibatkan reman-teman seperti redaktur bahasa Suara Merdeka cetak yang juga sastrawan dan budayawan, Gunawan Budi Susanto (kangputu@yahoo.com) sebagai penyunting bukunya.

Baca Juga: Enam Hal yang Harus Ditakuti Seorang Mukmin

Desain sampul diserahkan Putut Wahyu Widodo, kepala Departemen layout Suara Merdeka cetak.

Sementara Desain Isi dan Tata Letak diserahkan salah satu ahli pembuat buku di Kota Semarang yang juga staf Putut, Moch Buhono HR (moch_ahmad.yahoo.com)

"Buku ini bukan dari hasil penelitian kuesioner maupun wawancara tapi pengalaman hidup saya di Semarang, yang saya tulis di buku ini," ujar Hartono Samidjan mengawali acara bedah buku pada siang hari itu.

Triyanto Triwikromo dan Sucipto Hadi Purnomo, adalah dua orang sastrawan dan budayawan yang juga punggawa Suara Merdeka cetak yang membedah buku Halah Pokokmen: Kupas Tuntas Dialek Semarangan.

Baca Juga: Ustadz Abdul Somad: Ada Lima Tanda Kiamat, Semuanya Sudah Ada, WASPADALAH

Seiring perjalanan waktu, saat ini Triyanto Triwikromo dipercaya CEO Suara Merdeka Network Kukrit Suryo Wicaksono menjadi Wapimred Suara Merdeka cetak, sementara Sucipto Hadi Purnomo mantan redaktur bahasa Suara Merdeka hijrah menjadi akademisi atau dosen Fakultas Bahasa dan Sastra Universitas negeri Semarang (Unnes).

Dialek Semarangan

Menurut Hartono Samidjan, bahasa semarangan atau lebih tepatnya bahasa Jawa dialek semarangan, lebih eksis sebagai bahasa tutur dibanding bahasa tulisan.

"Itu terjadi karena dalam konteks kebudayaan Jawa, Kota Semarang bukanlah pusat kebudayaan," jelasnya.

Meski berstatus sebagai Ibu Kota Provinsi Jawa Tengah, lanjut dia, posisi Kota Semarang dalam kebudayaan Jawa sejak masa lampau selalu menjadi subordinat dari Kasunanan Surakarta (Solo).

Baca Juga: Bahaya! Ustadz Abdul Somad Peringatkan Hindari Dua Jenis Orang Ini

Bahkan pada masa kerajaan pun, Semarang hanya berstatus sebagai Kadipaten (Kabupaten).

"Karya sastra dengan bahasa Jawa semarangan, sejauh yang saya ketahui, belum pernah ada. Apalagi kamus bahasa semarangan," tegas Hartono Samidjan.

Namun, lanjut dia, bahasa ini tetap eksis sebagai bahasa tutur dan berkembang secara alami.

Tak ada pakar yang merumuskan kaidah-kaidahnya.

Baca Juga: Syarat dan Cara Daftar Volunteer FIFA U-20 World Cup Indonesia 2023, Lengkap dengan Link Pendaftaran

Bahkan pelajaran bahasa Jawa di sekolah pun semua mengacu pada dialek Solo (Surakarta).

"Jika sampai sekarang bahasa semarangan masih ada, itu semata-mata karena merupakan bahasa ibu bagi para penuturnya." (bersambung)***

Editor: Ali A

Sumber: Buku Halah Pokokmen

Tags

Terkini

Terpopuler