"Saya kira butuh sikap-sikap kritis, check and recheck dari masyarakat terhadap gempuran informasi dari medsos ataupun media arus utama. Bahkan, kita lihat, media penyiaran, sudah muncul sikap partisan mulai dari berita hingga running text. Di sini, saya kira pers harus mampu menjadi penyampai informasi yang berimbang," kata Turnomo.
Amir Machmud NS menandaskan, pertanyaan mendasar pada tahun politik, apakah pers bisa menjaga demokrasi. Atau jangan-jangan pers yang justru harus dijaga.
"Karena memang gejala-gejala atau fenomena yang saat ini terjadi sedang bias, yang ditandai dalam praksis dan orientasi berjurnalistik jauh dari nilai-nilai jurnalistik itu sendiri," kata penulis buku, penyair, dan dosen itu.
Amir menyebut UU Pers memiliki substansi memberikan edukasi, kontrol sosial, dibingkai dengan Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Karena itu, dia meminta KEJ dijadikan semacam ekspresi yang keluar dari pori-pori kulit kewartawanan.
"Yang perlu dikhawatirkan adalah polarisisasi yang memicu timbulnya dikotomi-dikotomi, misalnya ini Pancasila, ini nggak, ini nasionalis yang sana tidak, dikotomi gender, dan lain-lain. Pers bisa meredam ini, jangan sampai sekeliling kita dibanjiri info-info yang membahayakan keberagaman. Makanya salah satu subtema kami pada HPN tahun ini adalah 'Wartawan Cerdas, Media Waras'," ujarnya.
Konvergensi dan Kolaborasi
Amir juga menegaskan, saat ini media arus utama tak bisa menjauhkan diri dari medsos. Karena itu, menyesuaikan zamannya, media mainstraim harus melakukan konvergensi dan kolaborasi dengan medsos seperti yang disarankan Gubernur Jateng Ganjar Pranowo.
Baca Juga: Kunci Jawaban Bahasa Indonesia Kelas 7 SMP MTs Halaman 178 Kurikulum Merdeka:Surat Pribadi