PORTAL PEKALONGAN - Suami dan istri semula adalah orang lain, laki-laki dan peremepuan yang tidak ada hubungan apa-apa, tetapi karena ada hubungan cinta yang kuat, keduanya kemudian disahkan dalam suatu akad yang kuat (mitsaqan ghalidhan). Nikah atau kawin, inilah sunnatullah untuk melanjutkan generasi bangsa, mengurus dunia, sebagai khalifah.
Hal itu diungkapkan Dr H Nur Khoirin YD MAg, ketua Badan Penasihatan Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4) Provinsi Jawa Tengah ketika menyoroti lahirnya Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU KDRT).
Berlandaskan cinta itulah, lanjut Nur Khoirin, keduanya disatukan menjadi seperti satu jiwa, satu nyawa, satu langkah, dan satu arah mengarungi bahtera rumah tangga membangun keluarga yang bahagia dan lestari sepanjang masa. Di dalam Al Quran suami dan istri diibaratkan seperti pakaian (QS Al Baqarah: 187), agar saling menutupi dan saling melengkapi.
Baca Juga: Raker BP4 Jateng di Bandungan, Dikemas dengan Jalan Santai Bareng Pengurus dan Keluarga
"Relasi suami istri yang khas inilah yang gagal dipahami oleh penggagas lahirnya UU No 23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau UU KDRT. Undang-undang ini sepertinya disusun dalam suasana yang penuh dendam dan marah, khususnya pandangan sepihak perempuan terhadap laki-laki," ungkap Nur Khoirin yang juga dosen Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang itu.
Dia menduga, mungkin UU KDRT lahir berawal dari satu dua kasus kekerasan yang dilakukan oleh seorang suami kepada istri, yang kemudian memicu kemarahan semua istri. Tetapi kemudian digeneralisir menjadi teori umum. UU KDRT menggambarkan rumah tangga seperti medan perang yang panas, harus saling waspada, selalu siap membalas serangan lawan.
"Apalagi istri diposisikan sejak awal sebagai pihak yang sering mendapatkan tekanan dan serangan, baik secara fisik maupun psikis. Maka istri diberi senjata yang ampuh, yaitu melaporkan suaminya ke polisi. Jika suami misalnya melakukan perbuatan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga, maka dapat dihukum pidana sampai 15 tahun penjara," ungkap Nur Khoirin.
Baca Juga: Jadi Ajang Silaturahmi, BP4 Jateng Gelar Raker dan Jalan Santai Bersama Keluarga
UU-KDRT Membuat Istri “Rak Kenanan”