Menyoroti UU KDRT, Ketua BP4 Jateng Nur Khoirin: Menyatukan Suami-Istri atau Memisahkan?

- 16 Januari 2022, 07:34 WIB
Ketua BP4 Provinsi Jateng Dr H Nur Khoirin YD MAg .
Ketua BP4 Provinsi Jateng Dr H Nur Khoirin YD MAg . /Dok BP4 Provinsi Jawa Tengah

Nur Khoirin menilai UU KDRT itu memberikan dampak psikologis yang buruk bagi keutuhan dan kelestarian rumah tangga. Terkesan memprovokasi dan bukan mengedukasi. Undang-undang ini menjadikan, terutama istri “rak kenanan”, tidak boleh diganggu, nanti kalau marah bisa berbahaya, bisa lapor polisi dan urusannya bisa panjang.

Apalagi, lanjut dia, jika pasal larangan KDRT yang meliputi kekerasan fisik maupun psikis itu dipahami secara saklek, membuat suami atau atau siri tidak berkutik. Misalnya suami memarahi istri, kemudian si istri merasa ketakutan, hilang rasa percaya diri, menjadikan tidak fokus berfikir dan tidak nyaman, maka suami bisa terancam penjara 3 tahun penjara.

Demikian juga suami yang melarang istrinya bekerja, sehingga mengakibatkan ketergantungan ekonomi, juga bisa dilaporkan ke polisi. Hal yang sama juga jika istri memaksa suami bekerja atau tidak bekerja. Pasal-pasal yang subyektif dan tidak jelas ukurannya inilah yang sering dimanfaatkan, baik oleh istri atau oleh suami untuk melampiaskan kemarahan dan dendamnya. Bukan untuk mencari keadilan, tetapi semata-mata untuk tujuan agar lawannya dipenjara.

Baca Juga: BP4 sebagai Bengkel Keluarga, Harus Hadir di Setiap Kecamatan hingga Desa dan Kelurahan

"Kalau suami istri sudah saling lapor polisi, maka tidak ada kebaikan yang tersisa lagi, cinta berubah menjadi benci, harta benda habis tidak penduli, saling adu bukti untuk menang sendiri, aib keduanya tidak lagi ditutupi, panas membara meliputi hati, dan anak-anak menjadi korban orang tuanya sendiri. Maka patut dipertanyakan kembali, undang-undang ini tujuannya menyatukan suami istri atau bahkan memisahkan? Inilah yang harus dikaji lagi," imbuh Nur Khoirin.

Hal lain yang disinyalir turut memicu istri-istri era sekarang menjadi “rak kenanan” sehingga mudah mengajukan cerai, adalah gerakan kesetaraan gender atau gender mainstreaming. Gerakan gender mainstreaming yang tujuan utamanya adalah menuntut keadilan gender, agar tidak ada diskriminasi dalam berbagai peran antara laki-laki dengan perempuan ini, banyak yang dipahami secara berlebihan dan kebablasan.

"Para istri mengekpresikan kesetaraan secara salah, misalnya tidak mau melayani suaminya, tidak mau mengurus rumah, tidak mau mengurus anak, dan bahkan ingin hidup beba seperti burung lepas," ungkap Nur Khoirin.

Baca Juga: Nikah Siri Bisa Dibuatkan Kartu Keluarga, Ketua BP4: Pertimbangkan Dampak Buruknya

Cerai Gugat Tiga Kali Lipat

Menurut Nur Khoirin, dampak dari euforia UU KDRT dan gerakan gender adalah bangkitnya “perlawanan” istri kepada suaminya. Meskipun klaim ini perlu diteiliti kembali. Tetapi yang tidak bisa dibantah adalah bukti, bahwa gugatan cerai yang diajukan oleh istri adalah tiga kali lipat dibandingkan dengan cerai talak yang diajukan oleh suami.

Halaman:

Editor: Ali A


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah