Minyak Goreng, BBM, dan Inflasi, Tri Karjono: Pola Konsumsi Masyarakat Telah Bergeser

- 20 Juni 2022, 09:31 WIB
 Tri Karjono, Statistisi Ahli Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Tengah.
Tri Karjono, Statistisi Ahli Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Tengah. /Ali A/

PORTAL PEKALONGAN - Tingginya harga beberapa kebutuhan pokok yang beredar di pasar yang tak kunjung turun menjadi salah satu alasan presiden mereshuffle Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi dan mempercayakan Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan sebagai penggantinya, Kamis, 22 Oktober 2009.

"Penggantian menteri perdagangan ini diharapkan dapat memberi solusi bagi kembalinya harga ke posisi awal. Berhasilkah?" kata Tri Karjono, Statistisi Ahli Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Tengah.

Diawali sejak tahun 2020 di mana pemerintah mengeluarkan regulasi pelarangan peredaran minyak curah melalui Permendag No. 36/2020. Walau kemudian beberapa kali mengalami penundaan, ini cukup menjadikan disparitas harga kedua jenis ini menjadi semakin lebar.

Baca Juga: Kunci Jawaban Tema 1 Kelas 4 Halaman 52, 53, 54, 55, 56, 57: Gagasan Pokok dan Pendukung Tari Kipas Pakarena

Ketika peraturan tersebut akan diterapkan pada tahun 2022, disparitas yang telah terlanjur lebar dikhawatirkan akan menjadikan beban masyarakat akan semakin besar di tengah situasi pandemi dan daya beli yang belum pulih.

Alhasil peraturan tersebut secara permanen dibatalkan menjelang berakhirnya tahun 2021.

"Namum peraturan yang terlanjur diketok palu dan diamini oleh pengusaha minyak goreng saat itu, ketika dibatalkan disikapi pasar dengan kelangkaan komoditas ini di pasar baik yang curah maupun kemasan."

Tri Karjono menjelaskan, hal ini menjadikan hukum pasar berlaku ketika suplai terbatas atau cenderung sedikit, sementara demand (keutuhan) tetap atau bahkan meningkat, menjadikan harga mengalami kenaikan, curah naik, kemasanpun semakin melejit hingga hampir seratus persen.

Baca Juga: Mengidap Sindrom Ramsay Hunt, Justin Bieber Tunda Sisa Justice Tour

Bahkan ketika pemerintah menetapkan HET per 1 Februari 2022, tiba-tiba keduanya jenis bahan kebutuhan pokok itu hilang dari pasaran.

Lepas itu memang produksi yang terbatas oleh kesediaan bahan baku yang sedikit atau karena kondisi pasar yang sengaja diatur oleh oknum tertentu.

Kebijakan pemerintah yang menghentikan ekspor CPO beberapa waktu kemudian nyatanya juga tidak banyak berpengaruh pada ketersediaan jumlah dan tak mampu menjadi solusi dari sisi harga.

Alhasil kebijakan harus dicabut karena stok tak signifikan bertambah, hargapun tak kunjung kembali.

Jika pada akhirnya kecukupan stok di pasar kembali tidak serta merta hukum pasar kembali berlaku.

Baca Juga: Kunci Jawaban Matematika Kelas 4 SD MI Materi Pecahan: Buku Senang Belajar Matematika Ayo Mencoba Halaman 29

Dengan disparitas harga yang sangat jauh antara minyak curah dan kemasan, disikapi pasar dengan maraknya minyak goreng kemasan merk-merk baru dan asing dengan harga yang masih bertahan pada levelnya.

Secara total kuantitas bisa dikatakan telah kembali namun dari sisi pie (grafik porsi) komposisi jenis yang beredar bergeser didominasi komoditas kemasan.

"Mau tidak mau masyarakat harus mengeluarkan biaya yang lebih untuk terpaksa beralih ke jenis minyak goreng kemasan. Tak disadari dengan sendirinya akan terbiasa dengan jenis tersebut yang dibarengi dengan berkurang dan (mungkin) pada akhirnya tetap hilangnya jenis kemasan di pasaran. Tanpa peraturan pelarangan jenis minyak goreng curahpun maka sejatinya dengan sendirinya telah berjalan," tegasnya.

Tri menambahkan, hal yang sama atau setali tiga oeang dengan minyak goreng juga terjadi di BBM.

Perekonomian dunia yang belum stabil ditambah dengan kasus invasi Rusia ke Ukraina menjadikan harga minyak dunia melejit.

Baca Juga: Kunci Jawaban Tema 1 Kelas 3 Halaman 34, 36: Permainan Kuda-kudaan

Beberapa saat setelah invasi Rusia ke Ukraina harga minyak dunia mencapai USD108/barel, bahkan saat ini telah menyentuh level USD120/barel, jauh melebihi harga asumsi APBN 2022 yang hanya sebesar USD63/barel.

Tidak ingin Pertamina rugi oleh karenanya, maka disikapinya menaikkan harga BBM jenis Pertamax dari Rp9.000/liter menjadi Rp12.500/liter pada 1 April 2022.

Namun untuk jenis Pertalite yang notabene mendominasi jumlah kebutuhan di masyarakat tidak mengalami kenaikan.

Karena untuk jenis tersebut masih mendapat subsidi dari pemerintah.

Dengan oleh karena kenaikan Pertamax tersebut menjadikan sebagian orang beralih mengkonsumsi Pertalite sehingga jumlah konsumsi Pertalite semakin meningkat.

Dengan begitu beban APBN dalam mensubsidi BBM jenis Pertalite ini jelas semakin membengkak.

Baca Juga: Mengharukan!Pengemudi Ojol Diberi Ponsel Bekas

Belum lagi tuntutan perusahaan yang tidak ingin rugi dengan biaya bahan baku dan biaya produksi Pertalite yang juga meningkat.

Jelas subsidi per liter yang tetap tak akan menutup seluruh biaya tersebut.

Negarapun tidak ingin dengan beban subsidi yang semakin membengkak tersebut hingga mengakibatkan terganggunya program pemerintah lain, terutama program nasional yang berskala prioritas.

Di antaranya pemulihan ekonomi yang belum sepenuhnya kembali sehat, cadangan penanganan program kesehatan dari kekhawatiran merebaknya kembali virus Covid-19 varian baru dan sebagainya.

Alhasil pembatasan konsumsi Pertalite diberlakukan akhir-akhir ini dengan aturan yang membatasi jumlah pembelian BBM jenis tersebut setiap orangnya.

"Dengan aplikasi yang dibangun dan kewajiban masyarakat untuk menggunakannya, serta merta akan semakin terbatas masyarakat untuk mengkonsumsi BBM jenis ini. Kembali beralih dan semakin banyaklah masyarakat yang mau tidak mau beralih ke jenis BBM non subsidi," ujarnya.

Kasus yang sama akan terulang ketika terjadi secara perlahan hilangnya BBM jenis Premium kala itu.

Baca Juga: Kunci Jawaban Matematika Kelas 4 SD MI Materi Pecahan: Buku Senang Belajar Matematika Ayo Mencoba Halaman 19

Kembali masyarakat secara sadar atau tidak sadar harus mengeluarkan biaya yang lebih untuk pengeluaran komoditas ini.

Inflasi Terkendali

Kondisi terakhir inflasi kalender di Indonesia menurut data BPS adalah sebesar 2,56% sementara secara tahunan sebesar 3,55%.

Kondisi ini terhitung cukup rendah dibanding dengan beberapa negara lain.

Bahkan untuk ukuran ASEAN masih di bawah inflasi rata-rata.

Untuk Jawa Tengah sendiri inflasi kalender hingga bulan Mei 2022 sebesar 2,87% dan tahunan 3,91%.

Hampir sama dengan kondisi nasional dipengaruhi oleh terjadinya andil inflasi komoditas minyak goreng di bulan Januari 0,05%, Februari 0,02%, Maret sebesar 0,05%, April sebesar 0,23% dan deflasi di bulan Mei sebesar 0,08%.

Relatif kecil dibanding beberapa komoditas lainnya.

Sementara untuk BBM berpengaruh hanya pada bulan April sekitar 0,3%.

Hanya bulan itu ketika terjadi kebijakan kenaikan harga Pertalite.

Sebagian orang berpikir bahwa dengan angka-angka tersebut tidak sebanding dengan realitas kenaikan harga minyak goreng dan BBM yang terjadi dan tentunya berimbas pada komoditas lain.

Sehingga sebenarnya menyebabkan semakin tinggi lagi perubahan jumlah nominal yang harus dikeluarkannya.

Dengan besaran inflasi tersebut diperkirakan pada tahun ini inflasi akan tetap terkendali pada level 4% hingga 4,5%.

Baca Juga: Kunci Jawaban Tema 1 Kelas 2 Halaman 31, 32: Lambang Bilangan dan Nama Bilangan

Inflasi merupakan meningkatnya rata-rata harga berbagai komoditas kebutuhan pasyarakat yeng terjadi pada kurun waktu tertentu.

Baik itu sebulan terakhir, selama tahun berjalan yang biasa disebut tahun kalender atau setahun terakhir atau biasa disebut inflasi tahunan.

Inflasi dihitung dengan membandingkan indeks yang terjadi antara kedua batas periode waktu tersebut berdasar basis pola konsumsi pada tahun tertentu.

Untuk saat ini masih memakai tahun dasar 2018=100.

Dari tahun 2018 hingga saat ini komoditas dan kualitas yang dilakukan pengamatan secara berkala relatif sama, kecuali pada suatu ketika komoditas dimaksud benar-benar hilang di pasaran maka bisa dilakukan dengan komoditas substitusi.

Sehingga ketika komoditas tersebut masih ada di pasaran maka tetap dilakukan pengamatan walau secara perlahan porsi konsumsi komoditas atau kualitas komoditas tersebut telah bergeser.

Dalam hal ini maka ketika minyak goreng dan BBM masyarakat terpaksa atau dipaksa secara perlahan bergeser mengkonsumsi komoditas tersebut dengan kualitas yang notabene lebih baik dan lebih mahal, sedikit menjadi masalah dalam penghitungannya.

Baca Juga: Penghargaan BWF Hall of Fame untuk Liliyana Natsir Tuai Banyak Pujian

Sementara komoditas dan kualitas lama masih ada di pasaran maka seakan masyarakat tetap mengkonsumsi komoditas masing-masing dengan porsi atau biasa disebut persentase nilai konsumsi dari total pengeluarannya yang sama dengan kondisi tahun 2018.

Tri memberikan alternatif sebagai solusi. Biasanya tahun dasar akan dilakukan review sekali dalam lima tahun.

"Namun ketika dalam rentang tahun tersebut terjadi pola konsumsi masyarakat yang berubah drastis, seperti kondisi pandemi yang lalu atau ketika terjadi situasi ekonomi dunia yang tidak menentu seperti saat ini baik oleh pandemi, geopolitik, iklim, kebijakan, teknologi dan lain sebagainya sehingga pola konsumsinya berubah, maka semestinya review nilai konsumsi tidak perlu menunggu lebih lama," tandasnya.

Seperti saat ini, ketika pie porsi pengeluaran masyarakat dengan cepat bergeser dari komoditas minyak goreng curah ke minyak goreng kemasan atau Pertalite ke Pertamax.
Jika perpindahan konsumsi itu terjadi seketika dalam waktu yang singkat dan menyeluruh, oleh kebijakan misalnya, maka pada pengamatan periode berikutnya komoditas baru dapat dibandingkan dengan komoditas lama, dan selanjutnya diikutilah perubahan komoditas baru.

Baca Juga: Penghargaan BWF Hall of Fame untuk Liliyana Natsir Tuai Banyak Pujian

Sementara jika yang terjadi adalah berubahnya komoditas dan kualitas dengan perlahan beberapa bulan, seperti saat hilangnya Premium berganti ke Pertalite yang lalu atau saat ini ketika minyak goreng curah berpindah ke kemasan atau Pertalite ke Pertamax, maka bisa dilakukan survei pola perubahan komposisi pie kedua komoditas/kualitas yang saling substitusi tersebut lebih cepat bahkan bulanan.

"Tentunya ini masih dengan asumsi persentase atau porsi nilai konsumsi untuk minyak goreng dan BBM masih sama dengan tahun dasar."

Tidak mudah untuk melakukan survei ini secara berkala dalam waktu yang lebih sempit, apalagi jika itu untuk menentukan pola konsumsi kebutuhan secara keseluruhan karena jelas akan memakan waktu dan biaya yang mahal.

Baca Juga: Koalisi Gerindra-PKB, Usung Prabowo Subianto-Muhaimin Iskandar Bakal Capres-Cawapres Pilpres 2024?

Namun dengan memanfaatkan survei atau pantauan stakholders terkait dengan perubahan komposisi konsumen atau jumlah penjualan pada komoditas yang saling substitusi tersebut akan sangat membantu.*

Editor: Ali A

Sumber: BPS Jawa Tengah


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah