Portal Pekalongan - Ini kisah sanjoto (91) Veteran Perang Kemerdekaan Indonesia yang mengalami perang gerilya pertama menghadapi pendudukan kembali pasukan Kolonial Belanda di tahun 1948 di wilayah Surakarta dan sekitarnya.
Pasca hengkangnya Jepang tahun 1945 dari Bumi Pertiwi, Sanjoto yang hanya lulusan SMP bergabung dalam Barisan Keamanan Rakyat (BKR) dan masuk dalam satuan Polisi Tentara atau sekarang Corps Polisi Militer ditugaskan di Denpom Surakarta.
Sejak muncul perintah perang gerilya dari Panglima Besar Jenderal Soedirman, dirinya ditugaskan mengawal dan mengamankan rute gerilya Jenderal Soedirman dari wilayah Timur Surakarta hingga perbatasan Jawa Timur.
Kala itu pasukan bermarkas di Matesih Karanganyar, dipimpin Kolonel Gatot Soebroto.
Pada gerilya pertama, diawalinya perjalanan meninggalkan Solo yang akan dikuasai Belanda.
Pasukannya yang kala itu terdiri atas gabungan Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang terdapat mantan PETA, Heiho, Laskar-laskar dari pesantren, juga didukung pasukan pelajar yang usianya masih sekitaran 12 tahun hingga 18 tahunan.
"Kami menyingkir ke arah Selatan setelah membumi hanguskan Kota Solo. Kemudian untuk memutus akses Belanda ke Kota Wonogiri turun perintah penghancuran jembatan Nguter. Dinamit yang kami pasang dalam jumlah besar saat kami ledakkan ternyata tak mampu menghancurkan Jembatan Nguter."
"Kemudian kami lanjutkan hingga menyeberangi sungai Bengawan Solo. Di situlah rombongan kami menyeberang disergap pesawat Cocor Merah Belanda dan banyak yang gugur."
"Seketika aliran sungai memerah karena darah para pejuang. Setelah mengamankan senjata dari kawan-kawan yang gugur, kami bergegas lari masuk hutan. Situasi saat itu kalang kabut karena pesawat meraung-raung di udara dengan menghujani peluru dari atas," kenang Sanjoto di rumahnya Jalan Belimbing Raya No 34 Peterongan Semarang, Jumat 13 Agustus 2021.
Dengan pasukan yang berjumlah 30-an kemudian Sanjoto membagi dua untuk menuju ke Wonogiri.
Baca Juga: 8 Rekomendasi Drama Korea Beberapa Season, Salah Satunya Love Alarm Diperankan Song Kang
Sanjoto, meski saat itu sebagai Polisi Tentara, namun juga ikut bertempur di garis depan.
Puncaknya saat meninjau rute di daerah Desa Mento, Wonoharjo, Wonogiri.
Saat ingin mengamankan rute perjalanan gerilya Jenderal Soedirman kembali ke Yogyakarta memenuhi panggilan Presiden Soekarno, pasukannya menerima informasi adanya rombongan konvoi pasukan Belanda yang akan melintas sekitar waktu Maghrib.
Dengan membagi 3 regu pasukan, Sanjoto yang saat itu berpangkat Letnan Muda memilih melakukan penghadangan di kelokan jalan sekitar kebon tebu.
Baca Juga: Bupati Banjarnegara Ajak Sebarkan Kebajikan 'Ingat, Menungsa Ana Sing Nguripi, Ana Sing Mateni'
"Saya memilih kelokan supaya menyulitkan musuh untuk melarikan diri saat kami serang. Selain itu sorot lampunya juga tak bisa seketika menerangi jalur kelokan keseluruhan. Ranjau yang kami pasang meledak tepat di bawah truk dan berhasil menghancurkan truk itu. Regu satu dan dua langsung menembakkan bren. Saya di regu dua berada di tengah merangsek mendekati truk dan menembakinya dengan pistol mitraliur," kata Sanjoto.
Saat itu dia merasa sangat bahagia melihat keberhasilan menghancurkan konvoi pasukan Belanda.
Satu truk berikut belasan penumpang yang terdiri pasukan Gurkha hancur terbalik.
Sebuah panser lapis baja yang mengawalnya pun melarikan diri ditembaki senjata otomatis bren regu 1 dan dua.
Sebuah jeep yang ikut melarikan diri pun menurut Sanjoto harus pasrah terjungkal di parit menerima tembakan dan penumpangnya tewas ditembus peluru pejuang.
Peristiwa itu sangat mengesankan dalam perjalanan perjuangan Sanjoto.
Dia dan pasukannya tak ada satupun yang terluka karena tembakan musuh.
Dapat banyak senjata yang dirampas dari pasukan Gurkha pendukung Belanda.
"Saat kami dekati ternyata banyak Londo Ireng, seperti negro dan sepertinya dari India Tamil. Saya dapat senjata Jungle Rifel dan FN45 yang kemudian saya pergunakan untuk perjuangan selanjutnya," papar Sanjoto.
Dalam perjuangannya yang serba terbatas peralatan, terutama dalam berkomunikasi antarpasukan saat melakukan pengawasan medan tempur, pasukan menggunakan sarana seadanya. Hanya mengandalkan teropong jarak jauh dan batu korek, komunikasi dilakukan dengan kode-kode nyala percikan api.
Untuk menjaga stamina pasukan, kadang hanya berbekal gula jawa dan secuil kelapa.
Dalam tugasnya mengamankan rute gerilya pasukan Jenderal Soedirman, dirinya selalu berada di depan pasukan.
Mencarikan rute aman dari perhatian dan cegatan pasukan Belanda.
Tak jarang pula melakukan rute tipuan untuk mengecoh pasukan Belanda.
Tugas tersebut menurut Sanjoto tidaklah ringan. Mengingat yang diamankan adalah pemimpin perjuangan.
Saat itu banyak rakyat yang membantu, namun juga ada pula yang berkhianat dengan menjadi mata-mata Belanda.
Karenanya bertugas sebagai pengaman rute harus bisa membaca situasi.
Baca Juga: Iwan Fals dan Penyanyi Milenial Un1ty Berkolaborasi di Ultah SCTV Ke-31
Usai gerilya, Sanjoto bertugas sebagai Polisi Militer pernah terlibat saat konfrontasi dengan Malaysia.
Pensiun terakhir berpangkat Kapten CPM bertugas di Pomdam VII (sekarang IV) Diponegoro.***