Retno Sudewi: Kebanyakan Pernikahan Usia Dini Sad Ending, Prof Ahmad Rofiq: Menambah Angka Kemiskinan Baru

7 Juni 2023, 19:36 WIB
Ketua PW DMI Jateng Prof Ahmad Rofiq foto bersama para pembicara dan moderator Seminar Antisipasi Pernikahan Usia dini di Ghradika Bhakti Praja Rabu, 7 Juni 2023 /Ali A/

PORTAL  PEKALONGAN - SEMARANG - Ada hal menarik dari pelaksanaan Seminar Antisipasi Pernikahan Usia Dini yang digelar Pengurus Wilayah Dewan Masjid Indonesia (PW DMI) Jateng di Ghradika Bhakti Praja Kompleks Kantor Gubernur Jl Pahlawan No 9 Semarang, Rabu, 7 Juni 2023. Sebab, narasi yang disampaikan keynote speaker (Wagub Jateng Gus Taj Yasin), seluruh pembicara seminar, hingga Ketua PW DMI Jateng, Prof Ahmad Rofiq, hampir bisa dikatakan seragam.

Benang merah Seminar Antisipasi Pernikahan Usia Dini adalah meski diperbolehkan dalam Islam karena salah satu sunah Rosul, namun di era sekarang, pernikahan usia dini lebih banyak yang berakhir kurang bahagia, tidak bahagia, bahkan menyedihkan.

Wagub Jateng Gus Taj Yasin, keynote speaker sekaligus membuka seminar menyatakan, akibat pernikahan dini angka perceraian juga meningkat tajam.

Baca Juga: Hidupmu Penuh dengan Masalah, Sudah Usaha Sana Sani Masih Gagal? Begini Solusi dari Gus Baha

"Angka perceraian itu didominasi oleh gugat cerai (permohonan istri). Tahun 2022 dari 1.498 kasus perceraian, sebanyak 1.153 kasus adalah gugat cerai. Artinya istri yang mengajukan gugatan perceraian di Pengadilan Agama. Dari angka itu, 50 persen adalah hasil pernikahan usia dini," katanya.

Prof Ahmad Rofiq dalam sambutannya menyatakan, pernikahan usia dini memiliki prevelensi dengan tingkat kemiskinan baru. Sebab, anak-anak yang menikah pada usia dini (di bawah usia 19 tahun) tidak sempat belajar sampai tuntas (setidaknya lulus SMA, menyelesaikan jenjang diploma atau strata 1 alias sarjana).

Peserta Seminar Antisipasi Pernikahan Usia Dini menyanyikan Lagu Indonesia Raya dan Hymne DMI

"Anak-anak yanhg menikah pada usia dini, biasanya langsung bekerja. Karena memang dituntut kebutuhan. Suami yang berusia dini harus bekerja untuk menafkahi keluarganya, dia sendiri, istri dan anaknya. Kalaupun anak yang telah menjadi suami, ayah, dan kepala rumah tangga itu mendapatkan pekerjaan, jenis pekerjaan yang dia dapatkan biasanya padat karya, pekerja kasar dengan gaji kecil yang hanya cukup untuk membeli kebutuhan susu dan pempers serta belanja dapur," katanya.

Baca Juga: Berkurban Atas Nama Orang Tua yang Sudah Meninggal Dunia Diperbolehkan,Jika...

Sementara, lanjut Prof Ahmad Rofiq, kebutuhan sebuah keluarga tidak hanya itu. Suami  tidak hanya wajib memenuhi kebutuhan dapur termasuk membeli susu anak, namun juga harus menabung untuk membeli rumah (atau setidaknya DP rumah bersubsidi), menyiapkan biaya pendidikan anak, memiliki biaya sosial kemasyarakatan, dan sebagainya.

"Data UNICEF menyebutkan bahwa Indonesia berada di urutan ke-8 dunia dan ke-2 ASEAN untuk kasus pernikahan usia dini. Ada 1.459.000 kasus di seluruh Indonesia. Jatim, Jateng dan Jabar masuk dalam urutan provinsi dengan angka pernikahan usia dini tertinggi."

Di Jateng sendiri, jelas Prof Ahmad Rofiq, angka perceraian pada tahun 2022 meningkat signifikan dibanding tahun 2019.

Baca Juga: Mau Bisa Kurban Setiap Tahun? Ini Rahasianya Menurut Buya Yahya

Jika di tahun 2019 jumlah angka pernikahan usia dini hanya 2.049 kasus, namun pada 2020 meningkat tajam menjadi 12.972 kasus, tahun 2021 meningkat menjadi 13.595 kasus.

"Nah, dari data angka-angka di atas, pada kasus pernikahan usia dini paling banyak didominasi karena Married by Accident atau MBA. Ini sangat menyedihkan," tandasnya.

Bucin yang Berakhir Bakar Istri

Paparan Kadinas Perempuan dan Anak Jateng Dra Retno Sudewi Apt MSi MM malah lebih seru.

Menurut Sudewi banyak kasus pernikahan anak usia dini yang ditangani kantornya, berakhir sedih atau sad ending.

Sudewi mencontohkan, dua anak belum dewasa. Sebut saja perempuannya A (15 tahun) dan lelakinya B (18 tahun), belum lama menikah, A sudah harus dibawa ke RS karena KDRT. Akhirnya keduanya berpisah, karena si A trauma.

Baca Juga: HEBOH! War Tiket Indonesia vs Argentina Ludes Kurang dari 10 Menit, Begini Faktanya

"Saat pacaran, keduanya bucinnya minta ampun. Begitu hamil, wanitanya terpaksa putus sekolah, dan keduanya harus menikah. Setelah melahirkan, suami seenaknya sendiri. Segala kebutuhan masih ditanggung orang tua laki-laki dan perempuan. Si suami lebih suka nongkrong bersama teman-temannya. Karena terus-menerus dituntut istri agar lebih perhatian kepada keluarga, suami marah, lalu melakukan KDRT, bahkan tega membakar istrinya setelah terlebih dahulu menyiram dengan bensin."

Sudewi melanjutkan, B atau si suami, akhirnya divonis 5 tahun penjara. Namun istri telanjur trauma. Butuh pendampingan. Dan, ujung-ujungnya tetap bercerai.

Ini ada kisah lain lagi. A (17 tahun), B (18 tahun). Keduanya menikah di usia dini. Si wanita kemudian melahirkan anak pertama, dan setahun kemudian disusul lahir anak kedua.

Baca Juga: Pengelola Baru Stadion Citarum Semarang Siap Benahi Fasilitas agar Lebih Layak Digunakan

Karena suami (B) tidak bekerja dan masih minta uang ayah ibunya, si istri (A) akhirnya bekerja apa saja, serabutan, yang penting bisa dapat uang untuk kebutuhan dapur dan membeli susu dua anaknya.

"B, karena tidak bekerja, maka dia bertugas momong dua anaknya di rumah. Namun karena anaknya rewel terus, nangis terus, mungkin tak tahan dengan kondisi itu, akhirnya B membunuh anaknya dengan cara dibekap dengan bantal sehingga tidak bisa bernafas dan akhirnya meninggal."

Lebih jauh Sudewi menjelaskan bahwa pernikahan anak usia dini itu banyak risikonya. Salah satunya, tingginya angka kematian ibu atau bayinya atau bahkan kedua-duanya.

Baca Juga: Polisi Akan Terjunkan Tim Inavis Polda Jateng untuk Pastikan Penyebab Kebakaran Pasar Perja Banjarnegara

"Kalaupun lahir selamat, anak yang menikah di usia dini juga secara mental belum siap, emosi belum stabil, rendah tingkat pendidikannya, dan kalau terpaksa bekerja untuk mencari nafkah, statusnya adalah pekerja anak. Pada tahun 2019 memang UU Perkawinan direvisi, batas usia minimal menikah yang semula 16 tahun menjadi 19 tahun. Sayangnya, UU Perkawinan yang sudah direvisi ini kurang sosialisasi."

Menikah Dini, Yuk Dipikir Lagi?

Pembicara lain, Yuyun Affandi yang membawakan tema "Antisipasi Nikah Dini (perspektif victim)", juga menarasikan hal-hal yang mengarah pada titik bahwa intinya sebisa mungkin pernikahan usia dini dihindari.

"Pernikahan dini mengakibatkan meningkatnya perceraian dari tahun ke tahun. Data BPS di seluruh Indonesia tahun 2021 ada 447.7543 kasus perceraian, tahun 2022 terdapat 516.344 kasus perceraian atau meningkat 15,3 persen. Terbanyak Jabar: 113.643 kasus, Jatim: 102.065 kasus, Jateng: 85.412 kasus, DKI: 20.029 kasus, dll," katanya.

Baca Juga: Sedekah Subuh Akselerasi Doa Cepat Terkabul, Simak Rahasia Syekh Ali Jaber

Angka pernikahan dini di Jateng, tahun 2019 (2.049 pasangan), tahun 2020 (saat pandemi covid: 12.972 pasangan), dan tahun 2021 (13.595 pasangan).

"Menikah dini? Yuk dipikir lagi," kata Yuyun.

Tak hanya itu, pernikahan usia dini juga mengandung risiko terhadap kesehatan reproduksi. Ibu melahirkan di bawah usia 20 tahun berisiko kematian 5-7 kali lebih besar dibanding di atas usia 20 tahun.

Pernikahan dini, belum siap secara pekerjaan dan penghasilan, karena baru lulus SMP sederajat, atau tidak lulus SMA sederajat dikhawatirkan akan mengalami kesulitan ekonomi.

Emosi yang belum stabil pada anak yang menikah di usia dini rentan terhadap terjadinya pertengkaran dan kekerasan yang berujung pada perceraian.

Baca Juga: Budi Sutarso: Rasanya Nyeseg Melihat Remaja Negara Lain Pinter Nabuh Gamelan dan Nyinden

Pernikahan dini mengakibatkan si anak tidak mampu mencapai pendidikan yang lebih tinggi. "Maka perlu pendewasaan usia perkawinan. Yakni, laki-laki 25 tahun dan perempuan 21 tahun."

Kesimpulannya, pencegahan pernikahan usia dini bisa dilakukan oleh seluruh elemen masyarakat.

Antara lain melalui pemberdayaan masyarakat, organisasi, masjid, majelis taklim, dari TK hingga SMP akan lebih tercapai, mencegah berbagai kekerasan dalam rumah tangga dan risiko lainnya.

Beragam Alasan Dispensasi

Sebagaimana diberitakan, jumlah pernikahan usia dini atau pernikahan anak, akhir-akhir ini sangat memprihatinkan.

Beragam alasan orang tua agar bisa mendapatkan dispensasi. Keprihatinan itu disampaikan oleh Ketua Pengurus Wilayah Dewan Masjid Indonesia (PW DMI) Jateng Prof Ahmad Rofiq, Rabu, 7 Juni 2023.

Dia menambahkan, perubahan regulasi mengenai batas minimum usia yang diperbolehkan menikah menjadi 19 tahun, baik bagi laki-laki maupun perempuan, melalui UU No 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan seharusnya dapat semakin mencegah terjadinya perkawinan di usia anak.

Baca Juga: Sinopsis Lakon Wayang Kulit Tumurune Wahyu Sang Pamomong, Ki Mediyana: Para Pemimpin Harus Pahami Asta Brata

"Namun, kenyataannya perkawinan anak masih terus terjadi. Alasannya orang tua mengajukan dispensasi beragam. Yang terbanyak adalah calon pengantin wanita sudah telanjur hamil di luar nikah," jelasnya.

Dr Multazam memoderatori pembicara Seminar Antisipasi Pernikahan Usia Dini

Menurut Prof Ahmad Rofiq, PW DMI Jateng sangat prihatin atas fenomena yang terjadi di masyarakat ini. Untuk itu PW DMI Jateng menggandeng BKOW Prov Jateng serta instansi terkait yakni Dinas Kesehatan Jateng dan Dinas Perempuan dan Anak Jateng.

Tampil sebagai pembicara adalah Ketua BKOW Jateng Hj Nawal Nur Arafah, Kadinkes Jateng Yunita Dyah Suminar SKM MSc MSi, Kadinas Perempuan dan Anak Jateng Dra Retno Sudewi Apt MSi MM, dan Wakil Ketua PW DMI Jateng, Dr Hj Yuyun Affandi Lc MA.

Baca Juga: BREAKING NEWS! Pasar Perja Banjarnegara Dilalap Jago Merah, Jalan Nasional Banyumas-Banjarnegara Ditutup

Menurut Sekretaris PW DMI Jateng Prof Dr Imam Yahya MAg, seminar hybrid itu diikuti 500 lebih peserta online dan sekitar 150 peserta offline atau datang di lokasi seminar.

"Alhamdulillah seminar berjalan dengan lancar, semoga rekomendasi seminar bermanfaat bagi seluruh masyarakat," katanya.***

Editor: Ali A

Sumber: liputan

Tags

Terkini

Terpopuler