Pemilu 2024 yang akan digelar Rabu, 14 Februari, masih satu tahun lagi kurang sepuluh hari, tetapi suhu dan tensinya terasa agak memanas.
Sebenarnya, pemilu bagi entitas sebuah negara demokrasi, adalah suatu even lima tahunan yang seharusnya merupakan even yang biasa saja.
Akan tetapi kenapa suasana terasa memanas? Boleh jadi ini karena akibat hiruk-pikuk media sosial yang dengan mudah ditumpangi oleh para buzzer yang dampaknya tidak bisa dipungkiri, menjadikan lahirnya keterbelahan antar pendukung masing-masing calon atau parpol.
Event politik atau sering dibahasakan pesta demokrasi, sebenarnya merupakan peristiwa lima tahunan yang biasa-biasa saja.
Warga masyarakat sudah dewasa di dalam berpolitik. Untuk memilih pemimpin, melalui pemberian suara nyoblos gambar atau partai politik pengusung calon Legislatif, Pilkada, dan Pilpres.
Soal pilihan warga tentu dijamin oleh UU bebas memberikan pilihannya. Namun dalam situasi yang uang itu menjadi sesuatu yang dianggap penting, maka ada sikap “sarkastik” masyarakat yang secara demonstrative memajang spanduk/backdrop “siap menerima serangan fajar”.
Padahal serangan fajar sudah jarang dilakukan, karena diganti dengan “serangan dhuha”. Bahkan ada yang lebih nakal lagi, tidak serangan fajar dan dhuha, tetapi “serangan jelang ke Te Pe Es, alias tempat pemungutan suara”.