Pasal Perzinaan, Kumpul Kebo, dan LGBT di KUHP Baru, Sebuah Kebijakan yang Bermasalah?

- 13 November 2023, 15:02 WIB
Halaqah Ulama MUI Jateng
Halaqah Ulama MUI Jateng /Ayu Aprilia Ningsih/

PORTALPEKALONGAN.COM – Pada Halaqah Ulama MUI Jateng yang bertemakan “KUHP Baru dan Pasal-Pasal Kontroversial Serta Relevansinya dengan Hukum Islam”menyinggung mengenai pasal-pasal dalam delik kesusilaan. Yakni pasal-pasal dalam UU No 1 Tahun 2023 tentang KUHP kontroversial.

Halaqah Ulama MUI Jateng yang digelar di Hotel Metro Parkview Jl H Agus Salim Kompleks Aloon-Aloon (Pasar Johar) Kota Semarang pada 11-12 November 2023.

Ketua Komisi Hukum dan HAM Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Jawa Tengah, Drs H Eman Sulaeman MH, yang juga merupakan salah satu pembicara pada acara tersebut mengungkapkan bahwa pasal-pasal delik kesusilaan merupakan pasal yang selalu diperdebatkan di kalangan pemerhati hukum dan masyarakat.

Baca Juga: Delik Kesusilaan dalam UU No 1 Tahun 2023 Tentang KUHP Kontroversial

Apalagi mengenai pasal perzinaan, kumpul kebo, dan tidak adanya delik LGBT dalam rumusan KUHP baru.

Eman menjelaskan bahwa KUHP baru ini memiliki dua sisi yang tentunya berkebalikan. Di satu sisi memang sudah mengakomodasi aspirasi umat islam serta nilai-nilai hukum yang berlaku di masyarakat.

Yang mana dimana bukan saja telah memidana perzinaan fornication (zina muhshan) tapi juga memidana adultery (ghoiru muhshan).

Dengan rumusan baru ini diharapkan dapat mengeliminasi kebebasan seksual di kalangan remaja, yang dampak sosial dan psikologinya sangat berat.

Bahkan Kartini Kartono menyebut seks bebas (perzinaan) tidak ada bedanya dengan pelacuran. Pada hakikatnya, dalam eksesivitas (sangat banyak) seks bebas itu sama dengan promiskuitas atau “campur aduk seksual tanpa aturan”, alias pelacuran. 

Oleh karena itu perzinaan termasuk ke dalam masalah sosial yang cukup serius, karena melanggar kesopanan, merusak keturunan, menyebabkan penyakit kotor, menimbulkan persengketaan dan ketidakrukunan dalam keluarga, dan malapetaka lainnya.

Namun pada sisi yang lain dalam perspektif kebijakan kriminal apalagi jika dilihat dari perspektif hukum Islam, rumusan delik perzinaan dalam KUHP Baru ini adalah sebuah kebijakan yang “bermasalah”, karena:

Pertama

Sifatnya sebagai delik aduan absolut (absolut klachdelicten) dilatarbelakangi oleh budaya Eropa Barat yang individualistik-liberalistik, sangat bertentangan dengan struktur sosial budaya masyarakat Indonesia yang bersifat kekeluargaan, kolektivistik dan monodualistik.

Dalam masyarakat Indonesia perzinaan bukan semata-mata masalah privat, tetapi menjadi masalah dan penyakit sosial dan agama yang berbahaya.

Dampak buruk dari perzinaan tidak semata-mata menimpa para pelaku dan keluarganya, tetapi juga merusak tatanan moral masyarakat.

Dengan demikian sangat tidak bijaksana jika menempatkan delik perzinaan sebagai delik aduan, apalagi aduan absolut.

Kebijakan ini bahkan justru telah menjadi faktor kriminogen, yaitu memberi peluang seseorang justru melakukan perzinahan.

Terutama dalam kondisi masyarakat yang sebagian besar kedudukan/posisi para istri lebih lemah daripada suami; karena masih lebih banyak bergantung pada posisi suami.

Dalam posisi yang lebih kuat, dapat saja suami "membungkam atau meng¬intimidasi" pihak istri untuk tidak mengajukan pengaduan atau tuntutan, sehingga dia merasa bebas untuk melakukan perzinahan.

Terlebih budaya "nerimo" atau mengalah, tidak protes (permisif) karena berbagai alasan dan pertimbangan, jarang pihak istri mengajukan pengaduan atas perzinaan yang dilakukan oleh suaminya.

Begitupun bagi pelaku yang masih lajang, pengaduan menjadi hak orang tua atau anaknya. Mana ada orang tua yang tega mengadukan perzinaan yang dilakukan oleh anaknya, atau anak yang mengadukan perzinaan yang dilakukan oleh orang tuanya?

Jadi singkatnya, efek prevensi dari sifat delik aduan absolut sangat kurang dan bahkan dapat menjadi faktor kriminogen. Lain halnya apabila dijadikan delik biasa (gewone delickten), bukan delik aduan, karena pengendalinya bukan hanya istri ("orang rumah") tetapi masyarakat luas.

Masyarakat yang merasa terganggu dengan adanya perbuatan zina, dalam delik biasa bisa melaporkan kepada aparat hukum dan bisa dipidana.

Kedua

KUHP Baru menempatkan delik perzinaan sebagai delik yang berbobot sangat ringan, karenanya hanya dihukum maksimal 1 tahun penjara atau denda kategori II, yakni maksimal Rp10 juta. KUHP lama ancaman maksimalnya 9 bulan penjara.

Di tinjau dari tujuan pemidanaan, rumusan seperti ini akan menjadi kendala bagi upaya penanggulangan kejahatan (kebijakan kriminal), karena kurang memberikan prevensi yang bersifat khusus kepada terpidana maupun yang bersifat umum kepada masyarakat.

Memberikan sanksi pidana yang sangat ringan terhadap kejahatan yang oleh masyarakat dianggap kejahatan berat dan berbahaya akan melukai rasa keadilan sosial, sehingga masyarakat tidak merasa terlindungi oleh hukum yang pada gilirannya akan menimbulkan ketidakpercayaan terhadap hukum dan pada akhirnya akan memicu tindakan main hakim sendiri (eigenrichting).***

Editor: Ali A

Sumber: liputan


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah