Fitnah, Dosa yang Terus Berjalan Diluar Kendali Pelaku Pertamanya Kisah Wali Paidi Episode 35 Ngaji Laku PCS

- 13 Januari 2022, 18:05 WIB
Ilustrasi fitnah - Fitnah, Dosa yang Terus Berjalan Diluar Kendali Pelaku Pertamanya Kisah Wali Paidi Episode 35 Ngaji Laku Padepokan Carang Seket
Ilustrasi fitnah - Fitnah, Dosa yang Terus Berjalan Diluar Kendali Pelaku Pertamanya Kisah Wali Paidi Episode 35 Ngaji Laku Padepokan Carang Seket /Pixabay/Tumisu/

PORTAL PEKALONGAN - Fitnah, dosa yang terus berjalan diluar kendali pelaku pertamanya atau dosa jariyah pada Ngaji Laku Padepokan Carang Seket kali ini Den Juneng akan menceritaka kisah Wali Paidi episode 35 mengenai fitnah.

Den Juneng Suhu Padepokan Carang Seket menceritakan kisah Wali Paidi episode 35 mengenai fitnah, dosa yang terus berjalan diluar kendali pelaku pertamanya atau dosa jariyah pada sesi Ngaji Laku Padepokan Carang Seket yang terangkum dalam artikel ini.

Berikut portalpekalongan.com merangkumnya pada sesi Ngaji Laku Padepokan Carang Seket kisah Wali Paidi episode 35 Fitnah, dosa yang terus berjalan diluar kendali pelaku pertamanya atau dosa jariyah yang di ceritakan oleh Den Juneng Suhu Padepokan Carang Seket.

Baca Juga: Wali Paidi Episode 31 Tauziah Jumat di Pabrik, Ngaji Laku Padepokan Carang Seket

Datang seorang pemuda menemuai Wali Paidi

Ya Wali Paidi maafkanlah saya yang telah memfitnah Wali, dan ajarkan saya sesuatu yang bisa menghapuskan kesalahan saya ini.

”Aku berusaha menjaga lisanku, tak ingin sedikitpun menyebarkan kebohongan dan menyinggung perasaan Wali paidi,"

Wali Paidi terkekeh, Hahaha, ngaco rika kang “Apa kau serius?,” Katanya.

Pemuda itu menganggukkan kepala dengan penuh keyakinan. “Saya serius Wali, saya benar benar ingin menebus kesalahan saya,”

Wali Paidi terdiam beberapa saat, ia tampak berfikir.

Pemuda itu sudah membayangkan sebuah doa yang akan diajarkan kepadaNya, yang jika iya membacanya beberapa kali maka Allah akan mengampuni dosa-dosaNya.

Ia juga membayangkan sebuah laku, atau tirakat, atau apa saja yang bisa menebus kesalahan dan menghapuskan dosa dosa.

Beberapa Saat kemudian, Wali Paidi mengucapkan sesuatu yang benar benar di luar perkiraan pemuda itu.

“Apakah kau punya sebuah kemoceng di rumahmu?,” tanya Wali Paidi.

Aku benar benar heran Wali paidi justru menanyakan sesuatu yang tidak relevan untuk permintaanku tadi, (dalam hati pemuda itu).

“Maaf, Wali maksudnya gimana?,” Dia berusaha memperjelas maksud Perkataan Wali Paidi.

Wali Paidi tertawa, seperti yang biasanya tertawa lepas, diujung tawanya, ia sedikit terbatuk, sambil mengangguk anggukkan kepalanya, ia menghampiri pemuda itu.

Baca Juga: Cerita Kopi, Rokok dan Pena Kisah Wali Paidi Episode 30 Ngaji Laku Padepokan Carang Seket

“Ya, temukanlah sebuah kemoceng di rumahmu,” katanya.

Tampaknya Wali paidi benar benar serius dengan permintaannya.

“Ya, saya punya sebuah kemoceng di rumah, apa yang harus saya lakukan dengan kemoceng itu?,” jawab pemuda itu.

Wali paidi tersenyum, “Besok pagi, berjalanlah dari rumahmu ke pondokku,” katanya.

“Berjalanlah sambil mencabuti bulu bulu dari kemoceng itu, setiap kali kau mencabut sehelai bulu, ingat ingat perkataan burukmu tentang aku, lalu jatuhkan di jalanan yang kau lalui,”

Pemuda itu hanya bisa mengangguk, aku tak akan membantahnya, barangkali maksud Wali Paidi adalah agar aku merenungkan kesalahan kesalahanku.

Dan dengan menjatuhkan bulu bulunya satu per satu, maka kesalahan kesalahan itu akan gugur diterbangkan waktu, (dalam hati pemuda itu).

“Kau akan belajar sesuatu darinya,” kata Wali Paidi.

Ada senyum yang sedikit terkembang di wajah pemuda itu.

Keesokan harinya, pemuda itu menemui Wali Paidi, dengan sebuah kemoceng yang sudah tak memiliki sehelai bulupun pada gagangnya, dia segera menyerahkan gagang kemoceng itu pada beliau.

“Ini Wali, bulu bulu kemoceng ini sudah saya jatuhkan satu per satu sepanjang perjalanan, saya berjalan lebih dari 5 km dari rumah saya ke pondok ini,"

"Saya mengingat semua perkataan buruk saya tentang Wali, saya menghitung betapa luasnya fitnah fitnah saya tentang wali yang sudah saya sebarkan kepada begitu banyak orang. maafkan saya, maafkan saya,”

Wali Ppaidi mengangguk angguk sambil tersenyum.

Ada kehangatan yang aku rasakan dari raut mukanya.

“Seperti aku katakan kemarin, aku sudah memaafkanmu, barangkali kau hanya khilaf dan hanya mengetahui sedikit tentangku. Tetapi kau harus belajar seusatu,” katanya.

Aku hanya terdiam mendengar perkataan Wali Paidi yang lembut, menyejukkan hatiku.

“Kini pulanglah,” kata Wali Paidi.

Pemuda itu baru saja akan segera beranjak untuk pamit dan mencium tangannya, tetapi beliau melanjutkan kalimatnya.

“Pulanglah dengan kembali berjalan kaki dan menempuh jalan yang sama dengan saat kau menuju pondokku tadi,”

Pemuda itu terkejut mendengarkan permintaan Wali Paidi kali ini, apalagi mendengarkan “syarat” berikutnya.

“Disepanjang jalan kepulanganmu, pungutlah kembali bulu bulu kemoceng yang tadi kaucabuti satu per satu. Esok hari, laporkan kepadaku berapa banyak bulu yang bisa kau kumpulkan,”

Baca Juga: Wali Paidi Episode 23 Kisah Sesepuh dan Santri Thoriqoh, Ngaji Laku Padepokan Carang Seket

Pemuda itu terdiam, dia tak mungkin menolak permintaan Wali Paidi.

“Kau akan mempelajari sesuatu dari semua ini,” tutup Wali Paidi.

Sepanjang perjalanan pulang, Pemuda itu berusaha menemukan bulu bulu kemoceng yang tadi kulepaskan di sepanjang jalan.

Hari yang terik, perjalanan yang melelahkan, betapa sulit menemukan bulu bulu itu, mereka tentu saja telah tertiup angin, atau menempel di sebuah kendaraan yang sedang menuju kota yang jauh, atau tersapu ke mana saja ke tempat yang kini tak mungkin aku ketahui.

Tapi aku harus menemukan mereka! aku harus terus mencari ke setiap sudut jalanan, ke gang gang sempit, ke mana saja! Aku terus berjalan.

Setelah berjam jam, pemuda itu berdiri di depan rumahNya dengan pakaian yang dibasahi keringat, nafasnya berat, tenggorokanku kering.

DitanganYa, DigenggamNya lima helai bulu kemoceng yang berhasil ditemukan disepanjang perjalanan.

Hari sudah menjelang petang, dari ratusan yang kucabuti dan kujatuhkan dalam perjalanan pergi, hanya lima helai yang berhasil kutemukan dan kupungut lagi diperjalanan pulang. Ya, hanya lima helai, lima helai, (dalam hati pemuda itu).

Hari berikutnya pemuda itu menemui Wali Paidi dengan wajah yang murung.

Dia menyerahkan lima helai bulu kemoceng itu pada wali.

“Ini, wali, hanya ini yang berhasil saya temukan,” dia membuka genggaman tangannya dan menyodorkannya pada Wali Paidi.

Wali Paidi terkekeh. Hahaha, Kini kau telah belajar sesuatu,” katanya.

Aku mengernyitkan dahiku. “Apa yang telah aku pelajari, wali?,” Aku benar benar tak mengerti, kata pemuda itu.

“Tentang fitnah fitnah itu,” jawab Wali Paidi.

Tiba tiba tersentak, dadanya berdebar, KepalaNya mulai berkeringat dingin.

“Bulu-bulu yang kaucabuti dan kaujatuhkan sepanjang perjalanan adalah fitnah fitnah yang kausebarkan. Meskipun kau benar benar menyesali perbuatanmu dan berusaha memperbaikinya, fitnah fitnah itu telah menjadi bulu bulu yang beterbangan entah kemana. Bulu bulu itu adalah kata katamu, mereka dibawa angin waktu ke mana saja, ke berbagai tempat yang tak mungkin bisa kau duga duga, ke berbagai wilayah yang tak mungkin bisa kau hitung!,”

Tiba tiba pemuda itu menggigil mendengarkan kata-kataNya, seolah olah ada tabrakan pesawat yang paling dahsyat di dalam kepala pemuda itu, seolah olah ada hujan mata pisau yang menghujam jantung pemuda itu.

Akhirnya pemuda itu menangis sekeras kerasnya, dalam hatinya ingin Di mencabut lidahNya sendiri.

“Bayangkan salah satu dari fitnah fitnah itu suatu saat kembali pada dirimu sendiri, barangkali kau akan berusaha meluruskannya, karena kau benar benar merasa bersalah telah menyakiti orang lain dengan kata katamu itu. Barangkali kau tak tak ingin mendengarnya lagi"

Tetapi kau tak bisa menghentikan semua itu!

"Kata katamu yang telah terlanjur tersebar dan terus disebarkan di luar kendalimu, tak bisa kau bungkus lagi dalam sebuah kotak besi untuk kau kubur dalam dalam sehingga tak ada orang lain lagi yang mendengarnya. Angin waktu telah mengabadikannya,”

“Fitnah fitnah itu telah menjadi dosa yang terus beranak pinak tak ada ujungnya, Agama menyebutnya sebagai dosa jariyah, dosa yang terus berjalan diluar kendali pelaku pertamanya,"

"Maka tentang fitnah fitnah itu, meskipun aku atau siapapun saja yang kau fitnah telah memaafkanmu sepenuh hati, fitnah fitnah itu terus mengalir hingga kau tak bisa membayangkan ujung dari semuanya,"

"Bahkan meskipun kau telah meninggal dunia, fitnah fitnah itu terus hidup karena angin waktu telah membuatnya abadi. Maka kau tak bisa menghitung lagi berapa banyak fitnah fitnah itu telah memberatkan timbangan keburukanmu kelak,”

TangisNya benar benar pecah, pemuda itu tersungkur di lantai.

“Astagfirulloh hal'adzhim… Astagfirulloh hal'adzhim… Astagfirulloh hal'adzhim…,”

Pemuda itu hanya bisa terus mengulangi istighfar, dadaku gemuruh, air mata menderas dari kedua ujung mataku.

“Ajari saya apa saja untuk membunuh fitnah fitnah itu, Ya wali paidi.. ajari saya! ajari saya! Astagfirullooh hal'adzhim…”

Pemuda itu terus menangis menyesali apa yang telah aku perbuat.

Wali Paidi tertunduk, beliau tampak meneteskan air matanya. “Aku telah memaafkanmu setulus hatiku, Nak,” katanya.

Baca Juga: Wali Paidi Episode 32 Didatangi Senopati Laut Selatan, Ngaji Laku Padepokan Carang Seket

“Kini, aku hanya bisa mendoakanmu agar Allah mengampunimu, mengampuni kita semua. Kita harus percaya bahwa Allah, dengan kasih sayangnya, adalah zat yang maha terus menerus menerima taubat manusia… Innallooha tawwaabur-rahiim,”

Dan percayalah bahwa Allah menghadirkanmu ke rumahku, kau mengakui salahmu adalah cara Allah Mengurangi beban dosamu, cara Allah mengingatkanmu.

Den Juneng turut berpesan bila saudaraku ada yang memiliki salah dengan saudara, kerabat tentang fitnah, percayalah seumur hidupmu tidak akan mendapatkan keberkahan dunia akherat, cita cita pribadimu akan selalu gagal, sebelum engkau memohon ampun sama yang kau sakiti.

Walaupun gibah dan fitnah tetap akan menjadi ladang dosamu hingga kiyamat.!!! Tetap jadilah wayang yang tidak suka protes sama dalang.

Itulah kisah Wali Paidi episode 35 Fitnah, dosa yang terus berjalan diluar kendali pelaku pertamanya atau dosa jariyah yang diceritakan oleh Den Juneng Suhu Padepokan Carang Seket. Semoga bermanfaat.***

Editor: Dimas Diyan Pradikta

Sumber: Padepokan Carang Seket


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah