Menyoroti UU KDRT, Ketua BP4 Jateng Nur Khoirin: Menyatukan Suami-Istri atau Memisahkan?

16 Januari 2022, 07:34 WIB
Ketua BP4 Provinsi Jateng Dr H Nur Khoirin YD MAg . /Dok BP4 Provinsi Jawa Tengah

PORTAL PEKALONGAN - Suami dan istri semula adalah orang lain, laki-laki dan peremepuan yang tidak ada hubungan apa-apa, tetapi karena ada hubungan cinta yang kuat, keduanya kemudian disahkan dalam suatu akad yang kuat (mitsaqan ghalidhan). Nikah atau kawin, inilah sunnatullah untuk melanjutkan generasi bangsa, mengurus dunia, sebagai khalifah.

Hal itu diungkapkan Dr H Nur Khoirin YD MAg, ketua Badan Penasihatan Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4) Provinsi Jawa Tengah ketika menyoroti lahirnya Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU KDRT).

Berlandaskan cinta itulah, lanjut Nur Khoirin, keduanya disatukan menjadi seperti satu jiwa, satu nyawa, satu langkah, dan satu arah mengarungi bahtera rumah tangga membangun keluarga yang bahagia dan lestari sepanjang masa. Di dalam Al Quran suami dan istri diibaratkan seperti pakaian (QS Al Baqarah: 187), agar saling menutupi dan saling melengkapi.

Baca Juga: Raker BP4 Jateng di Bandungan, Dikemas dengan Jalan Santai Bareng Pengurus dan Keluarga

"Relasi suami istri yang khas inilah yang gagal dipahami oleh penggagas lahirnya UU No 23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau UU KDRT. Undang-undang ini sepertinya disusun dalam suasana yang penuh dendam dan marah, khususnya pandangan sepihak perempuan terhadap laki-laki," ungkap Nur Khoirin yang juga dosen Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang itu.

Dia menduga, mungkin UU KDRT lahir berawal dari satu dua kasus kekerasan yang dilakukan oleh seorang suami kepada istri, yang kemudian memicu kemarahan semua istri. Tetapi kemudian digeneralisir menjadi teori umum. UU KDRT menggambarkan rumah tangga seperti medan perang yang panas, harus saling waspada, selalu siap membalas serangan lawan.

"Apalagi istri diposisikan sejak awal sebagai pihak yang sering mendapatkan tekanan dan serangan, baik secara fisik maupun psikis. Maka istri diberi senjata yang ampuh, yaitu melaporkan suaminya ke polisi. Jika suami misalnya melakukan perbuatan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga, maka dapat dihukum pidana sampai 15 tahun penjara," ungkap Nur Khoirin.

Baca Juga: Jadi Ajang Silaturahmi, BP4 Jateng Gelar Raker dan Jalan Santai Bersama Keluarga

UU-KDRT Membuat Istri “Rak Kenanan”

Nur Khoirin menilai UU KDRT itu memberikan dampak psikologis yang buruk bagi keutuhan dan kelestarian rumah tangga. Terkesan memprovokasi dan bukan mengedukasi. Undang-undang ini menjadikan, terutama istri “rak kenanan”, tidak boleh diganggu, nanti kalau marah bisa berbahaya, bisa lapor polisi dan urusannya bisa panjang.

Apalagi, lanjut dia, jika pasal larangan KDRT yang meliputi kekerasan fisik maupun psikis itu dipahami secara saklek, membuat suami atau atau siri tidak berkutik. Misalnya suami memarahi istri, kemudian si istri merasa ketakutan, hilang rasa percaya diri, menjadikan tidak fokus berfikir dan tidak nyaman, maka suami bisa terancam penjara 3 tahun penjara.

Demikian juga suami yang melarang istrinya bekerja, sehingga mengakibatkan ketergantungan ekonomi, juga bisa dilaporkan ke polisi. Hal yang sama juga jika istri memaksa suami bekerja atau tidak bekerja. Pasal-pasal yang subyektif dan tidak jelas ukurannya inilah yang sering dimanfaatkan, baik oleh istri atau oleh suami untuk melampiaskan kemarahan dan dendamnya. Bukan untuk mencari keadilan, tetapi semata-mata untuk tujuan agar lawannya dipenjara.

Baca Juga: BP4 sebagai Bengkel Keluarga, Harus Hadir di Setiap Kecamatan hingga Desa dan Kelurahan

"Kalau suami istri sudah saling lapor polisi, maka tidak ada kebaikan yang tersisa lagi, cinta berubah menjadi benci, harta benda habis tidak penduli, saling adu bukti untuk menang sendiri, aib keduanya tidak lagi ditutupi, panas membara meliputi hati, dan anak-anak menjadi korban orang tuanya sendiri. Maka patut dipertanyakan kembali, undang-undang ini tujuannya menyatukan suami istri atau bahkan memisahkan? Inilah yang harus dikaji lagi," imbuh Nur Khoirin.

Hal lain yang disinyalir turut memicu istri-istri era sekarang menjadi “rak kenanan” sehingga mudah mengajukan cerai, adalah gerakan kesetaraan gender atau gender mainstreaming. Gerakan gender mainstreaming yang tujuan utamanya adalah menuntut keadilan gender, agar tidak ada diskriminasi dalam berbagai peran antara laki-laki dengan perempuan ini, banyak yang dipahami secara berlebihan dan kebablasan.

"Para istri mengekpresikan kesetaraan secara salah, misalnya tidak mau melayani suaminya, tidak mau mengurus rumah, tidak mau mengurus anak, dan bahkan ingin hidup beba seperti burung lepas," ungkap Nur Khoirin.

Baca Juga: Nikah Siri Bisa Dibuatkan Kartu Keluarga, Ketua BP4: Pertimbangkan Dampak Buruknya

Cerai Gugat Tiga Kali Lipat

Menurut Nur Khoirin, dampak dari euforia UU KDRT dan gerakan gender adalah bangkitnya “perlawanan” istri kepada suaminya. Meskipun klaim ini perlu diteiliti kembali. Tetapi yang tidak bisa dibantah adalah bukti, bahwa gugatan cerai yang diajukan oleh istri adalah tiga kali lipat dibandingkan dengan cerai talak yang diajukan oleh suami.

Dijelaskan, kasus perceraian di Kota Semarang pada 2021 mencapai 3.383. Dari jumlah tersebut, yang terbanyak adalah gugatan istri pada suami mencapai 2.588 kasus atau 76,5%, dan sisanya sebanyak 795 atau 23,5% berupa cerai talak yang diajukan oleh suami.

Hal yang sama terjadi di Kendal. Selama periode Januari 2020 hingga September 2021 angka perceraian mencapai 4.814 kasus, yang terdiri dari kasus cerai talak sebanyak 1.256 kasus atau 26,1% dan kasus cerai gugat sebanyak 3.558 kasus atau 73,9%.

Baca Juga: Doa untuk Orang yang Sedang Sakit Penyakit Lengkap dengan Artinya

Sementara di Kudus juga terjadi hal yang sama, selama tahun 2021 terdapat kasus perceraian sebanyak 1.370 perkara, yang terdiri dari cerai gugat sebanyak 986 atau 72%, dan cerai talak sebanyak 384 atau 28%.

Di luar Jawa Tengah juga terjadi tren yang sama. Ketua Pengadilan Agama Surabaya, Samarul Falah menjelaskan, di Surabaya pada 2021 ada pengajuan cerai talak sebanyak 1.667 kasus, dan cerai gugat sebanyak 4.020 kasus, yang rata-rata dilakukan oleh pasangan produktif.

Menurut Nur Khoirin, untuk menekan angka perceraian, terutama yang dilakukan oleh perempuan, sebagai dampak dari UU KDRT yang provokatif ini, maka undang-undang ini perlu segera diganti atau setidaknya diubah namanya menjadi undang-undang kekuatan keluarga. Tujuannya agar menjadi undang-undang yang sejuk, yang menyatukan ikatan suami- istri, bukan memisahkan.***

Editor: Ali A

Tags

Terkini

Terpopuler