Hasil Investigasi KNKT: 80 Persen Penyebab Kecelakaan Angkutan Umum Dipicu oleh Faktor Ini

- 28 Mei 2022, 07:09 WIB
Hasil Investigasi KNKT: 80 Persen Penyebab Kecelakaan Angkutan Umum Dipicu oleh Faktor Ini.
Hasil Investigasi KNKT: 80 Persen Penyebab Kecelakaan Angkutan Umum Dipicu oleh Faktor Ini. /Dok MTI

PORTAL PEKALONGAN - Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) merilis hasil investigasi yang mengidentifikasi sekitar 80 persen faktor penyebab kecelakaan angkutan umum dipicu oleh fatigue atau kelelahan pengemudi yang menyebabkan terjadinya penurunan kewaspadaan micro sleep.

Hasil investigasi KNKT di beberapa kecelakaan lalu lintas yang melibatkan bus umum, seperti kejadian kecelakan bus Rosalisa Indah di Purbalingga, bus Tiban Inten di Tol Cipali, bus Sang Engon di Tol Jatingaleh, mobil Isuzu Elf di Tol Cipali, PO Bus Ardyansyah di Tol Surabaya-Mojokerto. Salah satu penyebabnya kurang waktu istirahat pengemudi.

Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat, Djoko Setijowarno mengungkapkan, masih jarang ditemukan destinasi wisata yang mau menyediakan tempat istirahat yang memadai bagi pengemudi bus pariwisata.

Baca Juga: Mengurai Kepadatan Arus Mudik dan Balik Lebaran, Begini Pendapat Pakar Transportasi Djoko Setijowarno

Padahal pengemudi bus pariwisata yang kelelahan akibat kurang istirahat yang cukup dapat menjadi penyebab kecelakan lalu lintas. Setiba di tempat tujuan wisata, biasanya pengemudi beserta awak kendaraan tidur di kolong bus.

Kementerian Pariwsata dan Ekonomi Kreatif, hendaknya dapat menambahkan persyaratan layanan di tempat wisata yang harus dilengkapi dengan tempat istirahat bagi pengemudi yang mengantarkan pelancong ke tempat wisatanya.

KNKT telah mengirim surat ke Menteri Pariwisata tanggal 15 Juni 2017, namun belum ada tanggapan dan tindak lanjutnya hingga sekarang. Kemudian pada 11 November 2021, kembali KNKT menyurati Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif perihal Tempat Istirahat Pengemudi Bus Pariwisata.

"Ruang istirahat bagi pengemudi tidak hanya disediakan di setiap daerah wisata, namun dapat diberikan di setiap Tempat Istirahat dan Pelayanan (TIP) atau rest area di sepanjang jalan tol," kata Djoko Setijowarno, akademisi Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata Semarang itu.

Baca Juga: Soroti Suka Duka Pengemudi Truk, Djoko Setijowarno: Lebih Banyak Dukanya

Dia menegaskan, ketersediaan tempat istirahat yang nyaman merupakan cara untuk mengantisipasi kelelahan pengemudi angkutan umum baik yang mengangkut penumpang maupun barang.

Menurut dia, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dapat membuat aturan untuk mewajibkan setiap lokasi wisata wajib menyediakan tempat istirahat bagi pengemudi kendaran pariwisata. Menteri PUPR dan Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) dapat memasukkan dalam SPM Pengelolaan Jalan Tol.

Hal itu sesuai dengan pasal 90 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu lintas dan Angkutan Jalan, menyebutkan (1) setiap Perusahaan Angkutan Umum wajib mematuhi dan memberlakukan ketentuan mengenai waktu kerja, waktu istirahat, dan pergantian Pengemudi Kendaraan Bermotor Umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; (2) waktu kerja bagi Pengemudi Kendaraan Bermotor Umum paling lama 8 jam sehari; (3) pengemudi Kendaraan Bermotor Umum setelah mengemudikan Kendaraan selama 4 jam berturut-turut wajib beristirahat paling singkat setengah jam; dan (4) dalam hal tertentu Pengemudi dapat dipekerjakan paling lama 12 jam sehari termasuk waktu istirahat selama 1 jam.

Dari beberapa penyebab kejadian kecelakaan lalu lintas yang melibatkan sejumlah bus umum, KNKT melihat sejumlah permasalahan saat ini, seperti tidak diatur ketentuan mengenai waktu libur bagi pengemudi, tidak dibedakan mengenai waktu mengemudi malam hari dan siang hari, tidak diatur ketentuan mengenai tempat istirahat bagi pengemudi, tidak diatur tentang hak pengemudi selama libur, masih salah mempersepsikan istilah waktu kerja dan waktu mengemudi, dan tidak adanya sistem pengawasan yang efektif terhadap aturan waktu kerja pengemudi.

Baca Juga: Tanggapi Keluhan Pengemudi Truk, Djoko Setijowarno: Risiko Berat, Kesejahteraan Tidak Setara

Adapun Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (pasal 77), menyebutkan (1) setiap pengusaha wajib melaksanakan ketentuan waktu kerja, (2) waktu kerja (a) 7 jam 1 hari dan 40 jam 1 minggu untuk 6 hari kerja dalam 1 minggu; atau (b) 8 jam 1 hari dan 40 jam 1 minggu untuk 5 hari kerja dalam 1 minggu; dan (3) ketentuan waktu kerja tidak berlaku bagi sektor usaha atau pekerjaan tertentu.

Waktu Kerja Khusus

Atas dasar amanat UU Ketenagakerjaan tersebut, Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang mengatur mengenai waktu kerja dan waktu kerja lembur serta upah kerja lembur (khusus) di sektor usaha atau pekerjaan tertentu sejauh ini baru ada 3 (tiga), yakni (a) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI Nomor Kep-234/Men/2003 tentang Waktu Kerja dan Istirahat Pada Sektor Usaha Energi dan Sumber Daya Mineral pada Daerah Tertentu; (b) Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI Nomor Per-15/Men/VII/2005 tentang Waktu Kerja dan Istirahat pada Sektor Usaha Pertambangan Umum pada Daerah Operasi Tertentu; dan (c) Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI Nomor Per-11/Men/VII/2010 tentang Waktu Kerja dan Istirahat di Sektor Perikanan pada Daerah Operasi Tertentu.

"Pengemudi tidak mampu mengendalikan kendaraannya, disebabkan terdapat masalah teknis pada sistem kendaraan (faktor sarana), pengemudi tidak bisa beradaptasi dengan teknologi kendaraan ( human interface machine)/faktor manusia, dan penurunan situation awareness pada pengemudi akibat lelah (fatigue)," tutur Djoko.

Baca Juga: Truk ODOL Jadi Biang Kecelakaan, Djoko Setijowarno: Perlu Tindakan Bersama di Seluruh Indonesia

Selain itu, pengemudi tidak mampu memahami kondisi jalan dan lingkungannya yang disebabkan jalan yang tidak regulating road (di bawah standar), jalan yang kurang informatif (self explaining road)/minim rambu, dan penurunan situation awareness pada pengemudi akibat lelah ( fatigue).

Pengemudi tidak mampu memahami gerakan pengguna jalan lain, disebabkan salah persepsi, kecerobohan/pelanggaran lalu lintas, dan penurunan situation awareness pada pengemudi akibat Lelah ( fatigue).

Terdapat empat kegiatan yang tercakup di dalam situasional awareness, yaitu persepsi atau mengamati, memahami secara komprehensif, memproyeksikan apa yang terjadi ke depan, dan mengambil tindakan yang diperlukan.

Menurut Djoko, yang perlu didiskusikan adalah ketentuan pengaturan waktu kerja bagi pengemudi baik yang diatur oleh UU Nomor 22 Tahun 2009 maupun oleh UU Nomor 13 Tahun 2003 ada beberapa hal yang perlu dicermati. Pertama, terkait waktu kerja pengemudi angkutan umum, ketentuan mana yang harus ditaati diantara kedua UU dimaksud.

Kedua, jika mengacu kepada UU Ketenagakerjaan maksimal waktu kerja adalah 8 jam sehari untuk 5 hari waktu kerja dalam seminggu.

Ketiga, pada ketentuan waktu kerja bagi pengemudi angkutan umum tidak dijelaskan siapa yang menjalankan fungsi pengawasan, apakah lembaga yang bertanggung jawab di bidang transportasi ataukah tenaga kerja.

Baca Juga: Pembahasan 40 Soal Prediksi OSN Bidang ekonomi SMA MA Dilengkapi Kunci Jawaban

Keempat, pada UU Nomor 13 Tahun 2003 masih terbuka peluang untuk mengatur waktu kerja dan waktu istirahat secara tersendiri (khusus) pekerjaan yang memiliki karakteristik khusus, termasuk di dalamnya adalah pengemudi angkutan umum.***

Editor: Arbian T


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah