Fitnah, Dosa yang Terus Berjalan Diluar Kendali Pelaku Pertamanya Kisah Wali Paidi Episode 35 Ngaji Laku PCS

- 13 Januari 2022, 18:05 WIB
Ilustrasi fitnah - Fitnah, Dosa yang Terus Berjalan Diluar Kendali Pelaku Pertamanya Kisah Wali Paidi Episode 35 Ngaji Laku Padepokan Carang Seket
Ilustrasi fitnah - Fitnah, Dosa yang Terus Berjalan Diluar Kendali Pelaku Pertamanya Kisah Wali Paidi Episode 35 Ngaji Laku Padepokan Carang Seket /Pixabay/Tumisu/

Setelah berjam jam, pemuda itu berdiri di depan rumahNya dengan pakaian yang dibasahi keringat, nafasnya berat, tenggorokanku kering.

DitanganYa, DigenggamNya lima helai bulu kemoceng yang berhasil ditemukan disepanjang perjalanan.

Hari sudah menjelang petang, dari ratusan yang kucabuti dan kujatuhkan dalam perjalanan pergi, hanya lima helai yang berhasil kutemukan dan kupungut lagi diperjalanan pulang. Ya, hanya lima helai, lima helai, (dalam hati pemuda itu).

Hari berikutnya pemuda itu menemui Wali Paidi dengan wajah yang murung.

Dia menyerahkan lima helai bulu kemoceng itu pada wali.

“Ini, wali, hanya ini yang berhasil saya temukan,” dia membuka genggaman tangannya dan menyodorkannya pada Wali Paidi.

Wali Paidi terkekeh. Hahaha, Kini kau telah belajar sesuatu,” katanya.

Aku mengernyitkan dahiku. “Apa yang telah aku pelajari, wali?,” Aku benar benar tak mengerti, kata pemuda itu.

“Tentang fitnah fitnah itu,” jawab Wali Paidi.

Tiba tiba tersentak, dadanya berdebar, KepalaNya mulai berkeringat dingin.

“Bulu-bulu yang kaucabuti dan kaujatuhkan sepanjang perjalanan adalah fitnah fitnah yang kausebarkan. Meskipun kau benar benar menyesali perbuatanmu dan berusaha memperbaikinya, fitnah fitnah itu telah menjadi bulu bulu yang beterbangan entah kemana. Bulu bulu itu adalah kata katamu, mereka dibawa angin waktu ke mana saja, ke berbagai tempat yang tak mungkin bisa kau duga duga, ke berbagai wilayah yang tak mungkin bisa kau hitung!,”

Tiba tiba pemuda itu menggigil mendengarkan kata-kataNya, seolah olah ada tabrakan pesawat yang paling dahsyat di dalam kepala pemuda itu, seolah olah ada hujan mata pisau yang menghujam jantung pemuda itu.

Akhirnya pemuda itu menangis sekeras kerasnya, dalam hatinya ingin Di mencabut lidahNya sendiri.

“Bayangkan salah satu dari fitnah fitnah itu suatu saat kembali pada dirimu sendiri, barangkali kau akan berusaha meluruskannya, karena kau benar benar merasa bersalah telah menyakiti orang lain dengan kata katamu itu. Barangkali kau tak tak ingin mendengarnya lagi"

Halaman:

Editor: Dimas Diyan Pradikta

Sumber: Padepokan Carang Seket


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah