Prof Ahmad Rofiq: Idul Kurban Pendidikan Langsung dari Allah SWT agar Kita Bisa Hidup Zuhud

10 Juli 2022, 16:19 WIB
Relawan membantu memotong daging hewan kurban saat perayaan Hari Raya Idul Adha di depan masjid Ihyaul Qulub di Tirtasani, Karangploso, Malang, Jawa Timur, Minggu (10/7/2022). Panitia pemotongan hewan kurban setempat berupaya menghadapi wabah Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) dengan menggandeng dokter hewan serta mendatangkan Juru Sembelih Halal (Juleha) bersertifikasi untuk memastikan kesehatan dan kehalalan daging hewan kurban sebelum dibagikan ke masyarakat. /Antara/Ari Bowo Sucipto/ARI BOWO SUCIPTO

PORTAL PEKALONGAN - Hari ini kaum muslimin Indonesia merayakan Idul Adha 1443 H.

Idul Adha berasal dari kata Id artinya kembali dan adha artinya menyembelih hewan kurban.

Hal itu dijelaskan Ahmad Rofiq, Guru Besar Pascasarjana UIN Walisongo Semarang.

"Alquran menjelaskan, bahwa Hari Raya Kurban, adalah ketika Allah 'Azza wa Jalla mewahyukan kepada Nabi Ibrahim As melalui beberapa kali mimpi," katanya.

Baca Juga: Kunci Jawaban Tema 1 Kelas 5 Halaman 89, 90, 91, 92, 93, 94: Bentang Alam Pulau Jawa, Sumatra, Kalimantan

Karena itulah ada Hari Tarwiyah, dan karena mimpi tersebut dialami berulang, agar Ibrahim As menyembelih putra tercintanya Ismail As.

"Akhirnya, sampailah Ibrahim As menerima wahyu tersebut yang megakikan sebagai wahyu yang benar, yang disebut Arafah," ujarnya.


Prof Ahmad Rofiq yang menjabat sebagai Ketua PW Dewan Masjid Indonesia (DMI) Provinsi Jawa Tengah melanjutkan, setelah Nabi Ismail As, sebagai putra yang sangat dicintainya, ditanya perihal perintah wahyu tersebut, ternyata dengan sangat taat dan ikhlas, meminta Bapaknya, Nabi Ibrahim As untuk melaksanakan wahyu tersebut (QS. Ash-Shaffat: 103). 

"Ketika itulah, kemudian Allah segera menggantikannya dengan hewan sembelihan yang besar (wa fadainâhu bi dzibhin 'adhîm) (QS. Ash-Shaffât: 107)."

Baca Juga: Hikmah Idul Adha di MAJT, Gus Yasin Bangkitkan Rasa Syukur dengan Berjuang dan Berkorban Hadapi Pandemi

Bagi pun pengikut Agama Islam, agama yang hanief, perintah wahyu kepada Nabi Ibrahim As tersebut untuk menyembelih putranya, dan segera ditebus dengan hewan sembelihan yang besar, adalah bagian dari wahyu yang benar.

Akan tetapi bagi orang yang tidak mampu memahami dan memaknainya secara benar, dengan ketidaktahuannya itu, menuduh bahwa Nabi Ibrahim As adalah melakukan tindakan "kriminal" karena akan membunuh putranya sendiri. Na'udzu biLlâh min dzâlik.

"Pada hakikatnya perintah Allah kepada Nabi kekasih-Nya, Ibrahim as, adalah perintah untuk membunuh sifat dan sikap cinta berlebihan terhadap anak dan juga harta, yang sering mengalahkan cinta seorang hamba kepada Allah, Tuhannya. Maka ketika seorang hamba mampu menangkap pesan tersebut, Allah langsung menggantinya dengan memberikan aliran dan kemudahan rizqi yang bahkan berlebih dari kebutuhan riilnya. Itulah yang namanya keberkahan rizqi."

Baca Juga: Stut Motor Mogok di Jalan Raya Kena Tilang, Polda Metro Jaya Jelaskan Faktanya

Prof Ahmad Rofiq yang menjabat sebagai Direktur LPPOM-MUI Jawa Tengah menegaskan, bahwa para Ulama, mendefinisikan keberkahan sebagai "tiada bertambah hari kecuali bertambah kebaikan" atau dalam bahasa yang sederhana "serba kecukupan".
      
Allah 'Azza wa Jalla berfirman: "Innâ a'thainâka l-kautsar, fa shalli li Rabbika wa inhar...". Artinya: "Sesungguhnya Kami telah memberi kamu nikmat yang banyak, maka shalatlah kamu untuk Tuhanmu dan berkurban/menyembelihlah (hewan sembelihan)..." (QS. Al-Kautsar: 1-2).
      
"Pada hakikatnya, Hari Raya Kurban adalah pendidikan secara langsung kepada Nabi Ibrahim As dan para penganut agama Hanief, pengikut Rasulullah Muhammad Saw, agar dapat hidup zuhud," tandasnya.

Karena materi duniawi, apabila tidak mampu mengelolanya secara benar, bukan tidak mungkin, akan menyesatkan orang yang dititipi harta oleh Allah, karena justru terjebak dalam kehidupan hedonis, berfoya-foya, makin materialistik, makin bakhil, dan hanyut dalam perbuatan maksiat.

Baca Juga: Mengapa pada Hari Tasyrik Dilarang Berpuasa? Simak Penjelasan Berdasarkan Hadits Shahih

Karena itulah, lanjut Ketua Dewan Pengawas Syariah RSI Sultan Agung Semarang dan Koordinator Wilayah Indonesia Tengah PP MES ini, Rasulullah Saw memberikan warning atau peringatan kepada umat Beliau yang memiliki kemampuan, agar menyembelih hewan kurban.

Beliau bersabda: "man kâna lahû saatun wa lam yudhahhi fa lâ yaqrubanna mushallânâ" artinya "Barangsiapa yang baginya berkemampuan untuk menyembelih hewan kurban, akan tetapi ia tidak menyembelihnya, maka janganlah mereka mendekati tempat shalat kami" (Riwayat Ibnu Majah dan Ahmad).

"Hadits tersebut seakan menegaskan, bahwa orang yang rajin shalat, berkemampuan akan tetapi tidak berkurban, maka percuma shalat yang dikerjakannya."

Soal apakah pelaksanaan kurban itu, satu hewan kurban itu diperuntukkan satu orang atau satu keluarga, ini soal khilafiyah.

Ada yang berpendapat satu hewan kurban kambing untuk satu orang.

Ini sejalan dengan redaksi "man kâna lahû sa'atun" artinya "barangsiapa".

Arti "barangsiapa" berarti "setiap orang" yang betkemampuan.

Seperti kisah satu keluarga terdiri dari tujuh orang dewasa dan satu anak-anak, datang kepada seorang Kyai.

Baca Juga: Viral! Pengantin Pria Salah Sebut Nama di Ijab Kabul: Saya Terima Nikahnya Ngatmin... Netizen: Ambyar lhuuur

Lalu bertanya, "Pak Kyai, kami berdelapan, satu anak-anak, mau berkurban seekor sapi, apakah boleh hukumnya?"

Pak Kyai dengan sangat bijaksana menjawab: "Boleh saja, bagus itu. Tetapi yang anak-anak itu kalau mau ikut naik sapi besok di hari kiamat, maka ia butuh pancikan".
"Lalu bagaimana Pak Kyai" tanya mereka penasaran. "Oh itu mudah saja, carikan tambahan seekor kambing supaya bisa digunakan untuk pancikan atau tangga naik" kata Pak Kyai sambil tersenyum.

Ibadah kurban berbeda dengan aqiqah.

Karena kurban dianjurkan untuk dibagikan dalam bentuk daging mentah.

Supaya mereka yang menerimanya dapat merasaka bagaimana memasak daging dan menikmatinya.

Secara substansial, pesan penting pendistribusian daging kurban adalah, kesalehan sosial bagi hamba Allah yang berkecukupan.

Baca Juga: Aturan Terbaru Satgas Covid-19: Mulai 17 Juli 2022, Pergi Kemanapun Wajib Vaksin Booster! Ini Penjelasannya...

Dalam perspektif sufistik, ibadah kurban, adalah penanaman jiwa, sifat dan sikap zuhud, agar seseorang tidak terpedaya dan diperbudak oleh harta.
      
"Seseorang yang diperbudak oleh harta, laksana orang yang minum air laut, makin banyak diminum, makin haus dan dahaga yang dirasakannya".

Atau laksana seseorang yang mengejar fatamorgana yang dari kejauhan laksana air yang menyejukkan, namun ketika dikejar, adalah hamparan hampa.

Mengakhiri renungan ini, Allah 'Azza wa Jalla menegaskan: "Lan yanâla Allaha luhûmuhâ walâ dimâuhâ wa lâkin yanâluhu t-taqwâ minkum". Artinya: "Daging-daging dan darah unta itu tidak akan mencapai (keridhaan) Allah, akan tetapi hanya ketaqwaan kalian yang mencapai keridhaan Allah". (QS. Al-Hajj:37).

Baca Juga: Kunci Jawaban Tema 1 Kelas 5 Halaman 77, 79, 80, 83, 84: Pulau yang Paling Padat Penduduknya di Indonenesia
      
Seluruh ibadah yang menjadi inti diciptakannya manusia di muka bumi ini adalah penyeimbangan antara keshalihan ritual dan leshalihan sosial, karena kesempurnaan manusia adalah manakala ia mampu menyeimbangkan antara kebutuhan ruhani dan jasmani, kebutuhan duniawi dan ukhrawi, karena dunia hakikatnya adalah lahan untuk menyemai kebahagiaan akhirat.

Selamat ber-Idul Adha 1443 H selamat ber-Kurban, dan selamat "menyembelih" semua sifat, sikap, dan perilaku keserakahan duniawi, dan agar bisa hidup zuhud, dan menjadikan materi sebagai wasilah dan instrumen untuk meraih kebahagiaan dan kedamaian abadi di akhirat nanti. Allah a'lam bi sh-shawab.***

Editor: Ali A

Sumber: Prof Ahmad Rofiq

Tags

Terkini

Terpopuler