Kekerasan Seksual Banyak Terjadi di Satuan Pendidikan Berbasis Agama, Mengapa? P2G Rilis 4 Faktor Penyebabnya

- 20 Juli 2022, 08:19 WIB
Ilustrasi kasus kekerasan seksual terhanap anak.
Ilustrasi kasus kekerasan seksual terhanap anak. /Pixabay / Geralt

Guru merupakan profesi diatur Undang-Undang (UU) Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Begitu pula UU Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren. Empat syarat kompetensi guru: a) pedagogik, kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik; b) kepribadian, kemampuan kepribadian yang mantap, berakhlak mulia, arif, dan berwibawa serta menjadi teladan peserta didik; c) profesional, kemampuan penguasaan materi pelajaran secara luas dan mendalam; dan d) sosial, kemampuan guru untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan efisien dengan peserta didik, sesama guru, orangtua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar.

"Guru atau pendidik yang menggunakan instrumen kekerasan dalam berinteraksi dengan siswa, jelas tak profesional, tuna kompetensi pedagogis, kepribadian, dan sosial," kata Iman Zanatul Haeri, Kepala Bidang Advokasi P2G.

Dia melanjutkan kepala sekolah dan guru berperan sentral menumbuhkembangkan “disiplin positif” sebagai upaya pemberian konsekuensi yang mendidik kepada siswa tanpa teriakan, kekerasan, dan hukuman. Membangun kesadaran tentang kepercayaan (trust), komitmen, dan tanggungjawab, bukan ketakutan.

Baca Juga: Diiming-imingi Dapat Nilai Bagus, Oknum Predator Anak Berstatus ASN di Cilacap Cabuli 15 Muridnya

Menurut Iman, guru mestinya lebih memusatkan perhatian pada kegiatan belajar-mengajar ketimbang menghukum, serta saling menghormati dan bekerja dengan anak-anak, bukan melawan mereka.

"Ringkasnya, mendisiplinkan siswa tanpa hukuman kekerasan," pungkas guru Sejarah ini.

3. Perspektif Pendidikan Demokrasi

Sekolah menjadi laboratorium mengenali, memahami, dan mengaktualisasikan nilai-nilai demokrasi Pancasila bagi siswa. Disain pembelajaran demokratis menitikberatkan pada: terbukanya partisipasi, membangun otonomi, pengakuan kesetaraan, memegang komitmen, bernalar kritis, dan menghargai keragaman (inklusif) termasuk perbedaan pendapat.

"Kekerasan terjadi karena minim atau mandeknya ruang partisipasi dan absennya kesetaraan dalam pembelajaran, sehingga yang terbangun relasi kuasa," kata Agus Setiawan, Kepala Bidang Litbang Guru P2G.

Agus menjelaskan, adapun keterlibatan siswa dikendalikan sedemikian rupa, alih-alih mengatur, yang terjadi malah pembatasan dengan seperangkat larangan-larangan. Siswa berada dalam posisi inferior sedangkan guru superior. Hal ini juga terjadi di satuan pendidikan berbasis agama.

Halaman:

Editor: Arbian T


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah