Kekerasan Seksual Banyak Terjadi di Satuan Pendidikan Berbasis Agama, Mengapa? P2G Rilis 4 Faktor Penyebabnya

- 20 Juli 2022, 08:19 WIB
Ilustrasi kasus kekerasan seksual terhanap anak.
Ilustrasi kasus kekerasan seksual terhanap anak. /Pixabay / Geralt

Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Satuan Pendidikan, adalah aturan yang detil menjelaskan langkah dan strategi yang wajib dilakukan sebagai upaya preventif sekaligus kuratif terhadap kekerasan di sekolah.

"Sayangnya para guru, orang tua, siswa bahkan pengawas sekolah termasuk dinas pendidikan (Disdik) tidak banyak mengetahui dan memahami aturan ini," ungkap Satriwan Salim, Koordinator Nasional P2G.

Baca Juga: Kasus Predator Anak Muncul Lagi di Bandung, 4 Anak Jadi Korban, Pelakunya Kabur

Bisa dibuktikan, bagaimana implementasi Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015 di sekolah. Sangat jarang (jika dikatakan tak ada) sekolah punya Gugus Tugas Pencegahan Kekerasan. Padahal lembaga tersebut perintah Pasal 8 (huruf h).
Sekolah wajib membentuk tim pencegahan tindak kekerasan, terdiri dari: kepala sekolah, perwakilan guru, perwakilan siswa, dan perwakilan orang tua/wali (huruf h). Setiap sekolah wajib memasang papan layanan pengaduan tindak kekerasan pada serambi satuan pendidikan yang mudah diakses masyarakat (huruf i).

"Sayang, Permendikbud Nomor 82/2015 ini hanya menjadi macan kertas implementasinya di lapangan," kata Satriwan.

Satriwan mengatakan, mana ada sekolah di Indonesia memasang papan layanan pengaduan kekerasan di sekolahnya?

"Yang ada sebaliknya, jika terjadi kasus kekerasan, manajemen sekolah berupaya sekuat tenaga merahasiakan agar tak tercium sampai ke luar, demi nama baik institusi," kata guru SMA ini.

Menurut dia, minimnya sosialisasi dari pusat ke daerah (sekolah) menjadi penyebab. Ketidakcermatan birokrasi pendidikan daerah seperti pengawas dan Disdik melanggengkan keadaan.

Setiap tahun dokumen kurikulum operasional sekolah atau kurikulum tingkat satuan pendidikan diajukan kepala sekolah kepada Disdik untuk dipelajari dan ditandatangani. Dokumen kurikulum mendapat legitimasi (pasti) disetujui menjadi program resmi sekolah. Terkesan administratif belaka. Dokumen tebal itu tak dipelajari, dicermati, dan dinilai secara utuh.

Baca Juga: Kasus Predator Anak Herry Wirawan Perkosa Santriwati di Bandung, Jumlah Korban Bertambah Menjadi 21 Anak

Halaman:

Editor: Arbian T


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah