Kekerasan Seksual Banyak Terjadi di Satuan Pendidikan Berbasis Agama, Mengapa? P2G Rilis 4 Faktor Penyebabnya

20 Juli 2022, 08:19 WIB
Ilustrasi kasus kekerasan seksual terhanap anak. /Pixabay / Geralt

PORTAL PEKALONGAN - Kasus kekerasan seksual di satuan pendidikan masih saja terjadi. 

Ironisnya, banyak kasus kekerasan seksual justru terjadi di satuan pendidikan berbasis agama. 

Untuk itu, Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) menilai Indonesia tengah menghadapi darurat kekerasan seksual di satuan pendidikan.

Mengapa kekerasan termasuk kekerasan seksual di satuan pendidikan masih banyak terjadi hingga sekarang?

Baca Juga: Herry Wirawan, Predator Anak Pemerkosa 13 Santriwati Divonis Penjara Seumur Hidup

Dilansir Portalpekalongan.com dari siaran pers yang dirilis P2G, Rabu 20 Juli 2022, ada 4 faktor penyebab utama kekerasan seksual terjadi di satuan pendidikan baik umum maupun berbasis agama.

Inilah 4 faktor utama penyebab terjadi kekerasan seksual di satuan pendidikan berdasarkan hasil analisis dan kajian P2G: 

1. Perspektif Regulasi

Untuk sekolah sudah memiliki regulasi pencegahan dan penanggulangan kekerasan, termasuk perlindungan bagi siswa dan guru.

Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Satuan Pendidikan, adalah aturan yang detil menjelaskan langkah dan strategi yang wajib dilakukan sebagai upaya preventif sekaligus kuratif terhadap kekerasan di sekolah.

"Sayangnya para guru, orang tua, siswa bahkan pengawas sekolah termasuk dinas pendidikan (Disdik) tidak banyak mengetahui dan memahami aturan ini," ungkap Satriwan Salim, Koordinator Nasional P2G.

Baca Juga: Kasus Predator Anak Muncul Lagi di Bandung, 4 Anak Jadi Korban, Pelakunya Kabur

Bisa dibuktikan, bagaimana implementasi Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015 di sekolah. Sangat jarang (jika dikatakan tak ada) sekolah punya Gugus Tugas Pencegahan Kekerasan. Padahal lembaga tersebut perintah Pasal 8 (huruf h).
Sekolah wajib membentuk tim pencegahan tindak kekerasan, terdiri dari: kepala sekolah, perwakilan guru, perwakilan siswa, dan perwakilan orang tua/wali (huruf h). Setiap sekolah wajib memasang papan layanan pengaduan tindak kekerasan pada serambi satuan pendidikan yang mudah diakses masyarakat (huruf i).

"Sayang, Permendikbud Nomor 82/2015 ini hanya menjadi macan kertas implementasinya di lapangan," kata Satriwan.

Satriwan mengatakan, mana ada sekolah di Indonesia memasang papan layanan pengaduan kekerasan di sekolahnya?

"Yang ada sebaliknya, jika terjadi kasus kekerasan, manajemen sekolah berupaya sekuat tenaga merahasiakan agar tak tercium sampai ke luar, demi nama baik institusi," kata guru SMA ini.

Menurut dia, minimnya sosialisasi dari pusat ke daerah (sekolah) menjadi penyebab. Ketidakcermatan birokrasi pendidikan daerah seperti pengawas dan Disdik melanggengkan keadaan.

Setiap tahun dokumen kurikulum operasional sekolah atau kurikulum tingkat satuan pendidikan diajukan kepala sekolah kepada Disdik untuk dipelajari dan ditandatangani. Dokumen kurikulum mendapat legitimasi (pasti) disetujui menjadi program resmi sekolah. Terkesan administratif belaka. Dokumen tebal itu tak dipelajari, dicermati, dan dinilai secara utuh.

Baca Juga: Kasus Predator Anak Herry Wirawan Perkosa Santriwati di Bandung, Jumlah Korban Bertambah Menjadi 21 Anak

Hampir tiap minggu pengawas mengunjungi sekolah, memantau pelaksanaan pembelajaran. Tapi kekerasan sering terjadi, bahkan oleh oknum guru. Kinerja pengawas yang memedulikan aspek administrasi pembelajaran belaka, patut dipertanyakan. Tinggalkan aktivitas yang berkutat pada formalitas.

Satriwan melanjutkan, seharusnya Pengawas melakukan pembinaan, pembimbingan, pelatihan, penilaian, pemantauan, dan evaluasi kepada kepala sekolah, guru, dan program sekolah.

Pengawas dan Dinas Pendidikan semestinya menolak jika dokumen kurikulum operasional sekolah, tidak memuat upaya pencegahan dan penanggulangan kekerasan di sekolah.

Bagaimana dengan aturan pencegahan dan penanggulangan kekerasan termasuk kekerasan seksual di madrasah atau satuan pendidikan berbasis agama di bawah Kementerian Agama?

Hingga rilis P2G ini diturunkan, Kemenag belum kunjung mengeluarkan regulasi tersebut. Kemenag sangat tertinggal dari Kemdikbudristek dalam hal regulasi ini.

"Sangat disayangkan, padahal tiap hari potensi kekerasan terus terjadi tapi Kemenag lambat dalam meresponnya secara regulasi," ujarnya.

P2G mendesak agar Kemenag segera membuat Peraturan Menteri Agama mengenai pencegahan dan penanggulangan kekerasan termasuk kekerasan seksual di madrasah atau satuan pendidikan berbasis agama di bawah Kemenag.

Baca Juga: Pengakuan Bunga Korban Predator Anak Herry Wirawan, Takut hingga Tak Berani Keluar Rumah

Kemenag mestinya menyadari bahwa kita tengah menghadapi darurat kekerasan seksual di satuan pendidikan. Jika selesai diundangkan, mendesak kemudian sosialisasi dan pelatihan bagaimana strategi satuan pendidikan berbasis agama mencegah dan menanggulangi kekerasan tersebut, bagaimana peran guru, majelis masyaikh (kyai), pastor, pendeta, pengawas, siswa, orang tua, dan lainnya

2. Perspektif Profesi

Guru merupakan profesi diatur Undang-Undang (UU) Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Begitu pula UU Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren. Empat syarat kompetensi guru: a) pedagogik, kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik; b) kepribadian, kemampuan kepribadian yang mantap, berakhlak mulia, arif, dan berwibawa serta menjadi teladan peserta didik; c) profesional, kemampuan penguasaan materi pelajaran secara luas dan mendalam; dan d) sosial, kemampuan guru untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan efisien dengan peserta didik, sesama guru, orangtua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar.

"Guru atau pendidik yang menggunakan instrumen kekerasan dalam berinteraksi dengan siswa, jelas tak profesional, tuna kompetensi pedagogis, kepribadian, dan sosial," kata Iman Zanatul Haeri, Kepala Bidang Advokasi P2G.

Dia melanjutkan kepala sekolah dan guru berperan sentral menumbuhkembangkan “disiplin positif” sebagai upaya pemberian konsekuensi yang mendidik kepada siswa tanpa teriakan, kekerasan, dan hukuman. Membangun kesadaran tentang kepercayaan (trust), komitmen, dan tanggungjawab, bukan ketakutan.

Baca Juga: Diiming-imingi Dapat Nilai Bagus, Oknum Predator Anak Berstatus ASN di Cilacap Cabuli 15 Muridnya

Menurut Iman, guru mestinya lebih memusatkan perhatian pada kegiatan belajar-mengajar ketimbang menghukum, serta saling menghormati dan bekerja dengan anak-anak, bukan melawan mereka.

"Ringkasnya, mendisiplinkan siswa tanpa hukuman kekerasan," pungkas guru Sejarah ini.

3. Perspektif Pendidikan Demokrasi

Sekolah menjadi laboratorium mengenali, memahami, dan mengaktualisasikan nilai-nilai demokrasi Pancasila bagi siswa. Disain pembelajaran demokratis menitikberatkan pada: terbukanya partisipasi, membangun otonomi, pengakuan kesetaraan, memegang komitmen, bernalar kritis, dan menghargai keragaman (inklusif) termasuk perbedaan pendapat.

"Kekerasan terjadi karena minim atau mandeknya ruang partisipasi dan absennya kesetaraan dalam pembelajaran, sehingga yang terbangun relasi kuasa," kata Agus Setiawan, Kepala Bidang Litbang Guru P2G.

Agus menjelaskan, adapun keterlibatan siswa dikendalikan sedemikian rupa, alih-alih mengatur, yang terjadi malah pembatasan dengan seperangkat larangan-larangan. Siswa berada dalam posisi inferior sedangkan guru superior. Hal ini juga terjadi di satuan pendidikan berbasis agama.

Menurut Agus, guru menyalahgunakan doktrin agama bagi santri atau siswa mengenai “kewajiban menghormati guru dan keluarganya”.

Baca Juga: Perhimpunan Pendidikan dan Guru Mendesak Predator Anak Dihukum Seumur Hidup dan Kebiri Kimia

"Sehingga dengan iming-iming pahala atau ancaman dosa, guru bertindak semaunya kepada siswa, padahal oknum guru tersebut telah menyimpangkan doktrin tersebut," demikian terang guru Pendidikan Agama Islam ini.

Kondisi demikian makin subur, sebab metode pembelajaran terpusat pada guru, siswa menjadi objek bukan subjek.

4. Perspektif Ekosistem dan Budaya Sekolah

Sekolah merupakan arena perjumpaan. Titik temu semua unsur perbedaan, menuju persatuan dalam kemajemukan, sehingga terbentuk perasaan saling memiliki satu sama lain. Guru hendaknya menciptakan suasana pembelajaran yang mengundang (an invitational learning environment). Suatu praktik pembelajaran yang membangun hasrat, keterlibatan, dan keterikatan.

Lingkungan belajar diciptakan untuk mempromosikan pengajaran dan pembelajaran berkualitas. Siswa didorong secara positif atau "diundang" oleh guru ke dalam pengalaman pendidikan. Sejatinya semua orang adalah guru dan semua tempat adalah taman belajar (sekolah). Sebuah taman takdirnya ditumbuhi bunga dan tumbuhan aneka warna, ruang bermain nan semerbak, dan jangan sekali-kali merusak tanaman apalagi sedang bermekaran.

Begitu pula hendaknya lingkungan sekolah, menjadi tempat aman, sehat, dan nyaman bagi tumbuh kembang anak sesuai kodratnya.

Agus meminta, sekolah/madsrasah/pesantren/seminari dll tidak bisa lagi melarang siswa menggunakan gawai pintar (HP) di sekolah/asrama seperti yang umumnya masih terjadi sekarang. Sebab HP sudah menjadi kebutuhan dalam pembelajaran serta media berkomunikasi antara anak dan orang tua secara intens khususnya bagi satuan pendidikan sistem berasrama.

Baca Juga: Pengasuhnya Jadi Predator Anak, Kemenag Cabut Izin Operasional Dua Pesantren Ini

Jadi ketika terjadi indikasi kekerasan di satuan pendidikan, anak bisa langsung melaporkan kejadian tersebut kepada orang tua, sehingga terjadi pengawasan timbal balik.

"Semua satuan pendidikan seharusnya diwajibkan memasang kamera CCTV sebagai alat pengawasan dan bukti jika terjadi kekerasan," tegas Agus.***

 

Editor: Arbian T

Tags

Terkini

Terpopuler